Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

ELEGI TIGA PEREMPUAN: BAGIAN SATU

elegi
(Elegi tiga perempuan-Rianti, 2016)

(I)

Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Sang Istri duduk dengan manis ditepi ranjang. Dia tahu Pria akan datang malam ini. Dia rapikan gaun tidur maroon berbahan lace tipis yang ia kenakan. Siapapun dapat melihat kecantikan tubuhnya tanpa harus menerawang jauh.

Ia sunggingkan senyum diantara bibir tipisnya yang telah dibubuhi perona merah menyala. Saat itu pintu kamar terbuka. Seorang Pria berusia diatas 50-an memasuki ruangan dan langsung menghampiri sang Istri. Dibelainya lembut wajah cantik itu. Sambil memainkan  ujung rambut sang Istri yang berwarna hitam bagai kelamnya malam, “Kau milikku”, ia berkata.

Kisah selanjutnya, masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Sang Istri bagaikan bidadari yang turun dari khayangan. Memabukkan. Menggairahkan. Bersamanya bagaikan terbang ke langit ke tujuh.  Itulah karmanya.

(S)

Dia duduk di atas bangku kebanggaannya, sebuah bangku kulit berwarna coklat pudar akibat bertahun-tahun telah digunakan. Bangku itu memberikannya perasaan khusus. Bangku yang berhasil ia dapatkan dengan susah payah dan penuh kerja keras. Bangku yang menjadi obsesi seumur hidupnya. Bangku yang dulu pernah menjadi milik kebanggan sang Ayah. Kehormatan sang Ayah. Harga diri sang Ayah. Hingga akhirnya beliau tiada dan bangku itu menjadi miliknya.

Dia tertawa kecil, masih dari atas tempat duduknya. Dia tersenyum puas. Ditangan kanannya tergenggam segelas minuman kesukaannya. Minuman yang selalu ia nikmati untuk merayakan sesuatu. Saat dia berhasil meraih gelar MBA. Saat dia berhasil membuktikan diri pada sang Ayah bahwa ia bisa menjalankan bisnis keluarga. Saat dia berhasil menikahi sang pujaan setiap makhluk di kota itu. Saat sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Dan saat-saat gemerlap lainnya yang menurut dia pantas untuk dirayakan. Termasuk malam ini, saat ditangan kirinya tergenggam kontrak kerjasama berjumlah milyaran rupiah. Dia selalu tau cara untuk mendapatkan apa yang dia mau. Dan dia SELALU mendapatkannya.

(P)

Pria paruh baya itu masih terbaring disampingnya. Sambil menghisap sepuntung rokok, sang istri melirik jam dinding mewah yang tergantung diseberang ranjang. Ia pun mengusap lembut wajah pria itu sambil membangunkannya, “Sayang, bersiaplah pulang. Jam bermainmu telah habis”.

Pria itupun beranjak dengan malas. Masih ingin bersama dengan sang istri. Masih ingin merasakan deru nafasnya. Pelukannya. Desahannya. Masih ingin merasakan malam terindah dalam hidupnya lebih lama lagi. Tapi apalah daya, aturan adalah peraturan.

“Dia memang tidak pernah berbohong. Dia selalu membuktikan perkataannya. Kamu sangat luar biasa.”, kata pria itu lembut kepada sang istri. “Katakan pada suamimu, aku senang berbisnis dengannya. Sebagai terima kasihku padamu, perhiasan ini adalah bukti betapa indahnya dirimu”, seraya memakaikan kalung bertahta puluhan berlian di leher jenjang sang istri. Hanya itulah yang sang Istri kenakan, pria-pun tersenyum puas.

Pria kemudian melangkah pergi dan menutup pintu kamar di belakangnya. Kembali pada realita hidup, kesibukan, dan keluarga yang menantinya dirumah.

(A)

Aku adalah si Anak. Aku tinggal dirumah ini. Rumah yang sangat besar bagai istana. Aku punya segalanya, uang yang terkadang tak tau lagi harus aku habiskan untuk apa, mobil mewah yang selalu berganti baru, dan lainnya..dan lainnya..tak perlu kusebutkan satu persatu. Urusan kemewahan dunia bukanlah masalah hidupku, karena aku adalah anak satu-satunya dalam keluarga ini. Kedua orangtuaku selalu mencoba membuatku bahagia hidup di dunia ini.

Aku adalah si Anak. Aku selalu membuat orangtuaku kecewa. Karena nyatanya aku tak pernah bahagia. Aku hidup di dalam penjara. Aku hidup sebatang kara. Aku tidak punya orangtua.

Aku ingat, saat aku duduk di bangku kanak-kanak. Saat itu aku ikut pertandingan bela diri dan berhasil meraih medali emas. Aku merayakannya seharian bersama  penjagaku. Aku habiskan hari itu di sebuah mall mewah di kota ku, bermain sepuasnya, makan sepuasnya, membeli mainan sepuasnya. Inilah pesa yang ditinggalkan orangtuaku di mesin penjawab telepon, “Sayang, ini semua adalah hadiah kemenanganmu hari ini. Lakukan apapun yang kamu mau, beli semua yang kamu mau. Kami bangga padamu. Peluk dan cium dari Papa dan Mama. Kami kembali minggu depan. Sampai nanti, Sayang”.

Kemudian pernah lagi, kala itu aku lulus menjadi siswa terbaik di Sekolah Dasarku. Aku ingin sekali menjadi anak kebanggaan orangtuaku. Keesokannya, aku berangkat dengan jet pribadi milik keluarga untuk menghabiskan waktu tujuh hari penuh di pusat bermain pencipta Mickey Mouse di Jepang, bersama seorang pengasuh dan dua pengawalku. Orangtuaku mengirimkan pesan ini semalam sebelumnya, “Sayang, selamat atas peringkatmu. Kau selalu menjadi yang terbaik untuk kami. Sebagai hadiah, nikmatilah liburan ini Sayang. Peluk dan cium dari Papa dan Mama. Kami kembali dua minggu lagi. Sampai nanti, Sayang”.

Di lain waktu, saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku mendapatkan penghargaan sebagai pelukis muda terbaik di ajang internasional yang cukup bergengsi. Kala itu, aku ingin melihat senyuman bahagia orangtuaku saat aku menerima penghargaan tersebut. Namun, yang menantiku hanyalah sebuah mobil mewah berwarna kuning menyala. Mobil sport pertamaku, padahal usiaku pun belumlah sampai 17 tahun. Inilah pesan orangtuaku, “Sayang, selamat atas keberhasilanmu. Kami sungguh bangga dan sayang padamu. Inilah hadiah keberhasilanmu. Kamu pantas untuk mendapatkannya.  Peluk dan cium dari Papa dan Mama. Kami kembali dua bulan lagi. Sampai nanti, Sayang”.

Itulah masa dimana aku berhenti berharap. Aku berhenti bermimpi. Aku tidak lagi mengejar segala prestasi. Aku menyerah. Aku kalah. Aku tidak perlu berusaha untuk apapun, karena aku memiliki segalanya. Aku punya semuanya. Yah, mungkin kecuali satu. Aku tidak punya orangtua. Karena yang aku butuhkan sebenarnya hanyalah peluk dan cium nyata Papa dan Mama. Nyata di peluk. Nyata dicium. Nyata. Bukan hanya sekedar kata-kata pada mesin penjawab maupun pesan singkat di telepon genggam.

(I)

Usai sudah tugas sang Istri malam ini. Di kamar itu, satu wajah menatapnya lamat-lamat. Diapun menyentuh berlian indah yang melingkari leher jenjangnya. Sangat cantik. “Secantik dirimu”, kata wajah yang memperhatikannya itu. Sang Istri masih berdiri mematung dikamar. Melawan sepasang mata yang menatapnya tanpa berkedip, dari kalung berlian di leher ke setiap liuk bentuk wajahnya. Pucuk rambut di kepala, alisnya, matanya, hidungnya, pipinya, bibirnya. Kembali ke leher indahnya. Kemudian mata itu menatap nanar ke keseluruhan tubuhnya. Dada yang penuh, Pinggang yang ramping, pinggul yang besar, kedua lengan dan kaki jenjang yang sangat proporsional. Sungguh sempurna. Seperti jelmaan bidadari yang turun dari khayangan.

Sang istri tertawa bangga akan apa yang ia miliki. Mata yang menatapnya sedari tadi tercenung akan tawa yang tercipta. Sedetik kemudian ia pun menangis. Air mata meleleh sejadi-jadinya. Ia menangis dalam diam. Berteriak tanpa suara, menyayat kalbu menggetarkan jiwa. Mata itu menangis sejadi-jadinya. Menatap sesosok perempuan di depan cermin yang tak lagi ia kenali siapa itu.

(Rianti 2016)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *