Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Ekspektasi

screen-shot-2016-12-26-at-7-50-32-pm
Ekspektasi

Pintu kafe tiba-tiba terbuka. Tampaklah dua muda-mudi berseragam putih abu-abu memasuki kafe dengan rambut dan baju sedikit basah. Ku pikir hujan sebentar lagi reda, karena tak kulihat mereka membawa payung yang biasanya harus kami taruh disebuah kotak di pojokan dekat pintu masuk.

Aku duduk sendiri di sudut sebuah kafe yang cukup terkenal di Kota Hujan ini. Kafe yang tak hanya menyediakan makanan-makanan enak dengan harga terjangkau kantong mahasiswa, namun juga menyediakan buku-buku yang bisa kubaca dengan bebas.

Saat memasuki kafe ini, kuputuskan untuk memesan Hot chocholate dan roti bakar keju susu kegemeranku. Aku duduk dikursi yang berada persis di sebelah rak-rak buku yang berjajar rapih. Ku ambil satu majalah traveling yang bersampul wajah wanita Afganistan bermata abu-abu, biru, dan sedikit cokelat. Tatapannya sungguh tajam.

Dengan ditemani secangkir Hot chocholate dan sebuah majalah traveling, ku lewati sore yang dingin ini sembari menunggu seseorang.

Akhir-akhir ini Bogor tak pernah libur dari hujan, entah itu hujan yang lebat ataupun gerimis-gerimis kecil namun lama habis. Setiap hari aku harus membawa payung kemanapun pergi dan berela hati meliburkan Si Jago untuk batas waktu yang tidak diketahui. Aku terpaska bepergian dengan angkot dan membiarkan diri ini terjebak dikemacetan kota seribu angkot ini.

Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan tertahan. Ku intip apa yang terjadi dari balik majalahku. Ternyata perempuan berseragam putih abu-abu tadi menangis. Aku berusaha tak peduli dengan apa yang ku lihat. Namun, samar-samar ku dengar obrolan mereka.

“Aku tahu diri siapa aku, aku bukan siapa-siapa untukmu. Tapi tolong hargai perasaanku” dalam tangisnya perempuan itu coba berbicara.

Lelaki didepannya langsung memotong ucapan perempuan itu, “Aku sayang sama kamu, tapi tak lebih dari sayang seorang sahabat.”

“Apa? sahabat?” perempuan itu berbicara agak keras, suaranya bergetar.

Tiba-tiba suasana jadi sunyi. Hanya isak tangis perempuan itu makin menjadi.

“Sikap kamu sama aku, jauh melampaui sikap seorang sahabat”, sambil bergetar perempuan itu berucap “Kamu udah mainin perasaan aku. Jadi semua perlakuan kamu selama ini. Hanya sebagai sahabat?”

Aku kembali ke majalah digenggamanku, berusaha tak peduli. Aku membaca kalimat demi kalimat yang ditulis Agustinus Wibowo tentang perjalanannya menginjakkan kaki di negara-negara konflik seperti Afganistan dan Pakistan. Foto-foto yang menyertai cerita tersebut sangat indah, dan mampu membawa ku berada didalamnya, serta menyentil rasa kemanusiaanku.

“Perhatian kamu, sms-sms kamu, telepon kamu selama ini, kejutan-kejuatan kamu, dan kebersamaan kita selama ini, itu hanya sahabat!” terdengar seseorang berteriak.

Perempuan itu sedikit tegang, dia seperti orang yang sedang mengungkapkan semua hal yang sudah tertahan sekian lama. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari jarak pandangku yang hanya berselang satu meja dengan mereka.

Dengan santainya lelaki itu menjawab “Iya, kamu sahabat yang paling baik yang pernah aku punya. Kamu selalu ada saat aku sedih, terluka, dan saat tersulit hidup aku. Maaf jika itu membuatmu salah paham terhadapku.”

Dari suaranya perempuan itu nampaknya sangat kesal meski ia mencoba memelankan suaranya. Karena ia sadar suasana kafe cukup sepi, hanya ada aku, mereka berdua, seorang pria berkemeja kotak-kotak yang sibuk dengan rokoknya, dan tiga orang pelayan. Mungkin ia khawatir suara pertengkaran mereka terdengar.

”Aku kasih tau kamu sekarang. Tolong jaga sikap kamu. Ga semua apa yang kamu lakuin artinya akan sama di mata cewek. Buat kamu sikap kamu itu sikap seorang sahabat. Tapi buat aku, kamu bersikap melebihi seorang sahabat.”

“Maaf kalau aku nyakitin kamu, maaf sekali lagi.” Lelaki itu berujar

“Aku harap kamu masih mau jadi sahabat aku. Aku ga mau kehilangan kamu.”

Aku mencoba menyibukkan diri kembali dengan majalah traveling ini, melupakan mereka yang berdebat makin tak terkendali. Mereka tak lagi peduli, pandangan sekitar telah terfokus pada mereka.

Kupingku makin panas. Makin jelas apa yang mereka bicarakan. Ku teguk habis Hot chocholate yang sudah dingin. Ku taruh majalah ke rak semula.

Ku ayunkan langkah ke meja kasir untuk membayar pesananku. Aku berniat segera meninggalkan kafe ini, toh hujan sudah sedikit reda, hanya menyisakan gerimis-gerimis kecil. Biar ku tunggu Violet ditempat lain saja.

Tepat ketika aku melewati meja mereka.

Dengan tegas perempuan itu berkata ”Biarkan aku sendiri, carilah saja cewek lain yang bisa menerimamu dengan sikapmu. Aku ga bisa jadi sahabatmu.”

Uang lembar lima puluh ribu ku serahkan, setelah seorang pelayan berlesung pipit dan beralis tebal membacakan total pesananku.

“Ambil aja kembaliannya Mas, makasih” ucapku sambil melangkah menuju pintu

“Terima kasih kembali, Mba”

Tiba-tiba Handphone ku berdering. Rupanya sms dari Violet.

“Jingga, gua udah di seberang kafe, gua males masuk. Lu buru keluar”

Bergegas aku keluar kafe, dengan sedikit berlari. Hari itu aku tidak menemukan payungku didalam tas, barangkali adikku meminjamnya tanpa permisi.

Violet telah menungguku di seberang kafe dengan payung andalannya, merah muda dengan aksen Bunga Sakura.

“Maaf ye Non, gue telat datengnya. Macetnya ga tahan Non”

“Ga kok, lu datang disaat yang tepat.”

“Ayok cepet jalannya, gue parkir mobil di depan toko buku langganan lu. Kita kudu buru-buru cabut nih, kalau ga mau telat nonton Band kegemaran lu”

Saat mobil melaju membelah kota, menggilas aspal, dan menembus hujan yang tiba-tiba makin menderas. Ada hujan yang tiba-tiba turun dengan deras dikedua kelopak mataku.

“Lu kenapa?, lagian udah gue bilangin juga, lu ga usah dateng lagi ke kafe itu. Gue tau deh ni pasti gara-gara kenangan itu lagi kan? Lupain Jingga, ikhlasin.“

(Cerita ini adalah bagian kedua dari “Cerita di Kota hujan” Karya Eneng Nunuz Rohmatullayaly, Ig : @kelanakucom)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *