Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Karena Kata Orang

tata-cara-shalat-istikharah
Ilustrasi dari http://litamardiana.blogspot.co.id

Malam yang gelap tanpa bintang mewakili perasaanku yang sama gelapnya tanpa setitikpun bintang yang muncul. Meski sebenarnya bintang itu tidak menghilang, hanya saja tidak menampakkan sinarnya malam ini. Sinarnya pun tetap ada, entah hanya aku yang tidak dapat melihatnya atau hanya aku belum dapat melihatnya sekarang. Namun aku yakin ini semua beralasan. Bintang ini punya alasan kenapa sinarnya tak sampai pada penglihatanku, yang aku belum pahami alasanya sekarang atau mungkin aku yang tidak mau memahami alasannya. Mungkin hal ini sama ketika ayahku memberiku kabar yang entah aku harus bahagia atau perasaan lain yang akan muncul. Kabar yang membuatku bertanya-tanya tanpa jawaban dan alasan yang pasti. Kabar yang beredar sejak seminggu yang lalu, tepat saat aku tiba di rumah dari studiku di Madinah.

“Nak abi telah menerima kedatangan seorang ikhwan beberapa waktu lalu, temanmu di Universitas Islam Madinah. Ikhwan tersebut bermaksud mengkhitbahmu, namun abi belum bisa menerimanya. Sebenarnya abi telah menemukan orang yang tepat untuk mendampingimu nanti, tapi itu menurut abi. Anak kyai Munir yang pertama. Bagaimana pendapatmu wahai anakku?”

Aku tak langsung menjawab waktu itu. Wajahku seolah bersinar terang kala mendengar kata-kata abi, temanmu di UIM. Dia kakak kelasku yang mengambil fastrack di program studi hadist. Namun mengapa abi tidak langsung menerimanya, bukankah dia sosok ikhwan yang baik yang memenuhi kriteria bahkan bisa membantu mengajar di pondok pesantren ini nantinya. Wajahku berubah pucat ketika mendengar anak pertama kyai Munir. Aku tahu kyai Munir adalah sahabat baik abi tapi apakah hanya itu alasan abi. Apalagi berita yang beredar Wafi bukanlah ikhwan yang baik karena sering bergabung dengan pemabuk dan penjudi. Aku yakin abi mengetahui semua itu. Namun aku belum bisa memahami alasan abi untuk menjodohkanku dengan Wafi. Logikaku selalu membandingkan kelebihan dan kekurangan dari kakak kelasku dan Wafi. Tapi aku tak menemukan alasannya dari situ. Bagiku mereka bagaikan jungkat-jungkit, kakak kelas dengan segala kelebihannya dan Wafi dengan kekurangannya. Aku mulai jenuh dengan sudut pandangku sendiri. Namun satu peluang kesalahan dari sudut pandangku, aku tak pernah membuktikan sendiri tentang keburukan Wafi, aku hanya mendengarnya dari cerita orang-orang. Aku mencoba meminta pertimbangan dari beberapa saudara dan kerabatku. Namun hasilnya tetap nihil, pandangan mereka persis seperti pandanganku.

Aku berusaha bercerita dengan umi. Mencurahkan semua kebimbangan dalam hatiku, sudut pandangku dan semua yang aku rasakan. Hasilnya tetap nihil, umi pun tidak tahu alasan abi yang sesungguhnya. Lalu aku dengan seksama mendengar nasehat umi. Menurut umi tidak ada orang tua yang akan rela anaknya berdampingan dengan sembarang orang. Orang tua pasti mempunyai pertimbangan yang jauh lebih banyak dan ingin yang terbaik untuk anaknya.

Aku yakin Allah akan memilihkan yang terbaik untukku. Perlahan aku menyadari orang tuaku lah yang paling mengenalku, memahami karakterku, kekuranganku dan kelebihanku. Aku berada pada kesimpulan abi adalah orang yang paling mengenalku, maka ketika menurut abi Wafi lah yang cocok mendampingiku itu sudah disesuaikan dengan karakterku.

Sore itu aku bersama abi dan umi sedang duduk di serambi depan rumah. Awalnya aku bercerita tentang kehidupanku di Madinah beberapa waktu lalu, tentang studiku, teman-temanku hingga tanpa aku sadari sampai juga pada kakak kelasku, bagaimana dia diidolakan oleh banyak mahasiswi disana. Abi dan umi menyimak ceritaku dengan seksama hingga aku berhenti bercerita dan abi mengingat suatu hal.

“Astagfirullah, abi baru ingat keluarga kyai Munir ingin berkunjung kesini besok. Ini agenda silaturrahmi nak, tapi kalau Naura ingin ini sebagai bagian dari taaruf abi mengizinkan. Semua keputusan abi serahkan pada Naura, abi tidak akan memaksakan apapun pada Naura. Naura juga boleh memutuskan untuk melanjutkan atau menyudahi tentang perjodohan ini. Namun yang perlu diingat keputusan Naura adalah keinginan hati Naura bukan karena sungkan atau merasa tidak enak karena kyai Munir adalah sahabat abi. Berdoalah nak pada Allah, semoga Allah memberi petunjuk pada Naura.”

Kata-kata abi begitu menyejukkan dan menenangkan hatiku. Seolah abi mengerti kebimbanganku saat itu. Abi lah yang paling mengenal karakterku hingga sikap sungkanku menjadi pertimbangannya. Agenda silaturrahmi ini memang sudah biasa dilakukan oleh orang tuaku. Akupun tidak merasa ini dibuat-buat oleh abi. Disepertiga malam aku tersungkur bersujud pada Rabb yang Maha Menentukan. Aku alihkan semua pandanganku pada-Nya. Menerima semua keputusan-Nya sebagai takdir terbaik dalam hidupku. Panjatan doa, dzikir dan kepasrahan hati aku tujukan pada-Nya. Aku berusaha tidak mengingat apa yang aku pinta, namun aku berusaha banyak mengingat yang Maha Menerima Permintaan. Ketika aku hanya fokus pada apa yang aku pinta maka aku berdoa hanya untuk sebuah permintaan untuk dikabulkan, namun ketika aku fokus pada siapa aku meminta, Allah akan memberiku lebih dari yang aku pinta.

Setelah isya, rombongan keluarga kyai Munir tiba dirumah. Suasana akrab seperti silaturrahmi sebelumnya. Aku duduk diantara umi dan bu yai (istri kyai Munir). Hingga tiba suatu jeda yang tiba-tiba hening, seperti kehabisan topik pembicaraan. Akhirnya kyai Munir pun membuka percakapan.“Lalu bagaimana soal perjodohan anak kita, kalau saya menyerahkan keputusan kepada anak-anak saja. Bagaimana denganmu (mempersilahkan abi untuk berpendapat)?”

Abi hanya membalas dengan senyuman dan mengisyaratkan untuk melanjutkan. Lalu kyai Munir bertanya kepada Wafi tentang perjodohan ini dan Wafi mengiyakan. Tibalah selanjutnya semua pandangan mengarah padaku ketika kyai Munir bertanya hal yang sama. Entah apa yang kurasakan pada waktu itu tapi yang pasti perlahan ada getaran yang semakin lama semakin kuat, sebuah getaran keyakinan untuk memilih. Disisi lain ada sebuah kebimbangan yang bergetar lemah, dalam benakku aku belum mengenal Wafi yang sesungguhnya, aku hanya mengenalnya lewat cerita orang-orang. Namun keyakinan ini timbul saat aku merasa nyaman berada di tengah keluargaku dan keluarganya. Dalam benakku karakter mertua seperti inilah yang aku idamkan nanti. Berawal dari sebuah rasa nyaman yang mulai bergetar dan menguat. Sejak kecil aku terbiasa memanggil mereka dengan abi yai dan umi yai, seperti aku memanggil orangtuaku dengan sebutan abi dan umi. Getaran yang semakin menguat berhasil menaklukan kebimbanganku dan sacara reflek aku menganggukkan kepala tanda setuju.

Proses selanjutnya berjalan cepat. Abi giliran bertanya pada Wafi tentang kesiapan waktu untuk menikah dan waktu taaruf. Wafi dengan tegas menjelaskan, sekarang atau nanti hanya masalah waktu, ketika sudah siap akan lebih baik disegerakan. Hal tersebut disambut dengan tantangan dari kyai Munir untuk melakukan akad nikah besok. Selanjutnya keluarga sepakat dengan pendapat kyai Munir.

Semua persiapan untuk besok disiapkan malam ini termasuk mahar. Aku mengajukan mahar hafalan Al-Quran minimal satu surah diluar juz 30 dan Al-Fatihah, aku takut itu akan memberatkan Wafi. Wafi menyetujui mahar tersebut. Keluarga kami sepakat untuk melangsungkan akad nikah dengan sederhana dan khidmat. Mengundang siapa saja yang berkenan hadir dan sengaja tidak menyediakan kotak amplop. Itulah kebiasaan keluarga kami tidak ingin membebani dan merepotkan orang lain. Setelah semua dirasa cukup untuk persiapan besok, silaturrahmi keluarga kami diakhiri dengan perpisahan haru. Mungkin ini terakhir ikatan sahabat keluargaku dan keluarga Wafi, namun ikatan itu akan semakin berganti erat dengan kekeluargaan.

Hari ini berlalu sangat cepat. Selepas isya keluarga Wafi dan rombongan telah tiba dirumahku. Umi dan abi segera menyambut rombongan, sedangkan aku masih berada di dalam kamar. Aku lihat dari balik pintu kamarku Wafi berada di depan abi dan abi yai. Muraja’ah sebagai mahar telah dimulai, Wafi dengan bacaan tajwid yang mumpuni dan suara yang tegas mengumandangkan surah Ar-Rahman. Qolbuku bergetar mendengarnya, ini salah satu impianku. Ya mahar Ar-Rahman. Aku mendengarnya sambil muraja’ah hafalanku, sepertinya aku belum pernah mendengar bacaan Ar-Rahman seindah bacaan Wafi. Bukan karena nada dan lagunya tapi dengan lafal dan penghayatan sepenuh hati. Air mataku perlahan menuruni pipiku dengan malu-malu, air mata bahagia sebagai bukti keyakinanku telah memilih Wafi tanpa keraguan sedikitpun.

Tiba-tiba umi telah berada di belakangku dengan air mata yang sama denganku. Lalu umi menuntunku kedepan berada di samping Wafi. Abi telah erat menjabat tangan Wafi. Sebelum memulai akad, abi menanyakan kepada hadirin apakah ada yang berkeberatan dengan akad nikah ini. Pandanganku tiba-tiba menemukan sebuah wajah yang tak asing, kakak kelasku. Aku segera memalingkan pandanganku kepada Wafi. Namun Wafi sepertinya memandang satu arah denganku, kakak kelas. Lalu aku kembali memandang sekitar kakak kelas yang ternyata dia berada di dalam rombongan keluarga Wafi. Ternyata kakak kelas adalah sepupu Wafi. Ketika aku dan Wafi memandang kakak kelas, kakak kelas tersebut mengangguk sebagai isyarat persetujuan untuk ikhlas. Pandanganku terhenti ketika abi memulai mengucapkan syahadat dan akad yang dijawab oleh Wafi dengan bahasa arab. Setelah dinyatakan sah, untuk pertama kalinya aku berpandangan dengan Wafi, untuk pertama kalinya tangannya menyentuh tanganku dan menggandengnya. Hatiku seolah berkata inilah imam terbaik pilihanku.

Semua proses akad telah selesai dan berjalan lancar. Aku terkejut ketika suamiku meminta izin kepada keluarga kami untuk membawaku kerumahnya sendiri. Setelah mendapat izin dari keluarga, suamiku menggandengku untuk memasuki mobilnya dan berjalan menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan aku masih sungkan untuk bertanya apapun padanya. Hingga suamiku mulai membuka percakapan. “Istriku sayang, sekarang kita menuju rumah, meskipun kecil dan sangat sederhana aku ingin kita hidup mandiri, semoga kamu ridho untuk tinggal bersamaku dirumah kecil kita”.

Aku hanya sanggup menganggukkan kepala mendengar kata-katanya yang lemah lembut. Sepanjang perjalanan kemudian kami telah asyik berdiskusi banyak hal. Sejenak aku mengamati sekeliling, rumah ini sangat strategis berada diantara pondok pesantren abi dan pondok pesantren abi yai. Kehidupan kami berlangsung seperti biasa, keluargaku dan keluarga suamiku sering datang kerumah menjenguk kami. Kami disibukkan dengan mengajar baik di pondok pesantren abi dan abi yai. Semua kesibukan kita jalani bersama, pembagian tugas dalam keluarga yang apik tak membuat kami repot. Hari-hari kami berlalu dengan banyak cerita menarik. Hal ini membuat aku lupa pada cerita orang-orang tentang suamiku dulu. Aku sama sekali tidak menemukan celah keburukan suamiku seperti yang dikatakan orang-orang. Hingga suatu kejadian mengingatkanku pada cerita orang.

Suatu malam suamiku bangun pada sepertiga malam. Tanpa sengaja akupun terbangun. Namun malam itu ada sesuatu yang aneh, suamiku tak membangunkanku seperti biasanya. Gerakannya juga cenderung pelan seperti mengendap-ngendap. Aku biarkan saja dan aku pura-pura tidur kembali. Ternyata suamiku pelan-pelan membuka pintu dan keluar dari rumah. Lalu aku segera bangun dengan perasaan penuh rasa curiga. Lalu aku sholat tahajjud sendiri dirumah ini untuk pertama kalinya. Tanpa suamiku yang selalu membangunkan dan menjadi imam sholatku.

Setelah sholat tahajjud aku tidur kembali karena kondisiku kurang fit. Aku terbangun ketika tangan lembut suamiku membangunkanku untuk sholat shubuh. Setelah sholat suamiku mengisi kajian shubuh dan lanjut mengajar di pondok pesantren. Pagi itu aku tak punya kesempatan untuk bertanya tentang kejadian semalam padanya. Mungkin suamiku juga lupa untuk bercerita denganku.

Malam hari kemudian suamiku kembali bangun lebih dulu dariku. Aku semakin curiga mengapa suamiku tidak membangunkanku. Tanpa pikir panjang insting detektifku muncul, aku berusaha mengikuti suamiku dari jarak jauh. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat suamiku menghampiri sebuah pos ronda yang berisi pemuda dan bapak-bapak yang sedang berpesta miras. Hatiku luluh lantah melihat semua ini, air mataku tak bisa dibendung lagi. Aku menangis dan berlari pulang.

Setelah jamaah sholat shubuh suamiku pulang dengan tergesa-gesa sepertinya mengambil buku untuk mengajar yang tertinggal. Suamiku sempat melihat mataku yang membengkak dan hidung yang merah itulah ciri khas ku setelah menangis. Namun ia hanya sempat bertanya mengapa tanpa ada kesempatan untuk aku bertanya tentang kejadian semalam. Aku berusaha memakluminya dengan kesibukannya kini. Aku mencoba berhusnudzan, mungkin suamiku kebetulan lewat pos ronda itu dalam perjalanan ke masjid, mungkin hanya sekedar untuk menyapa mereka sebagai tetangga.

Hari ini aku tidak ada jadwal untuk mengajar. Waktu luang aku manfaatkan untuk membersihkan rumah layaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Ketika aku membersihkan kamar, aku menemukan baju suamiku tergeletak di atas tempat tidur. Tidak seperti biasanya, suamiku selalu rajin menaruh baju kotornya di tempat baju kotor, bahkan tak jarang ia mencuci baju kami, karena ia paham betul baju bersih merupakan salah satu nafkah. Ada perasaan aneh yang timbul ketika ada aroma asing yang tercium dari baju suamiku. Aku kenal sekali bau parfumnya, tapi sama sekali tidak mirip bau parfum. Beberapa saat aku terdiam mencoba menebak aroma apa yang ada pada baju suamiku. Ingatanku melayang pada kejadian semalam, baju ini yang dikenakan suamiku semalam ke pos ronda yang sedang pesta miras. Aku mulai mengenali bau alkohol di baju suamiku. Air mataku tak bisa dibendung lagi, sudah tidak bisa mengalahkan rasa husnudzan. Ingatanku melayang jauh mengingat cerita dari orang-orang tentang masa lalunya. Hal yang paling aku takutkan adalah suamiku menjadi sosok seperti yang diceritakan orang-orang.

Tanpa pikir panjang aku bersiap-siap untuk pulang ke rumah abi dan umi untuk menenangkan hati. Sebagai seorang istri aku sadar betul tidak boleh keluar rumah tanpa izin dari suami. Seberapa sakit hatiku, aku berpamitan via telpon dengan suamiku. Aku hanya meneleponnya singkat untuk berpamitan ingin menjenguk dan menginap di rumah abi dan umi. Aku tidak ingin membahas masalah ini terlebih dahulu, suamiku pasti sedang sibuk mengajar. Sore hari setelah mengajar suamiku datang ke rumah abi dan umi. Aku berusaha menyambutnya seperti rutinitas biasa. Setelah beberapa saat ia mulai menyadari mataku yang masih bengkak. Kami sengaja berbicara di kamar agar tidak mengganggu umi dan abi.

Amarah dalam hatiku tiba-tiba meluap tanpa bisa aku kontrol. Tanpa aku mendengar penjelasan dari suamiku aku bertanya dengan sinis, pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban karena aku membarenginya dengan opini dan persepsi pribadiku. Lisanku dengan lancangnya menuduhnya dengan tuduhan yang jahat dan menyakitkan. Aku menuduhnya bertopeng di depan keluargaku untuk menutupi perilaku aslinya. Bahkan lisan yang lancang ini semakin jauh, aku mengatakan padanya bahwa aku menyesal menikah dengannya, harusnya aku percaya pada kata orang-orang. Aku dengan percaya diri mengungkapkannya, aku yang selalu berusaha husnudzan kepadanya tapi apa balasannya. Aku percaya suamiku tidak seperti yang diceritakan orang-orang, kalaupun itu masa lalunya aku ingin ia tidak kembali pada masa lalu buruknya. Tapi apa yang aku lihat sekarang, semuanya terasa nyata seperti yang di ceritakan orang-orang. Aku terombang-ambing oleh lisanku sendiri, ia meluncur dengan semua kata-kata kasar yang sangat menusuk hati, tanpa aku bisa mengurangi frekuensi suaraku yang semakin meninggi. Aku terdiam ketika untuk pertama kalinya suamiku membentakku, wajahnya telah merah padam, kesabarannya telah habis berusaha menjelaskan tanpa aku beri kesempatan. Kemudian ia melangkah menjauhiku dan pergi meninggalkan kamar. Ia pulang kerumah kami.

Malam ini aku tetap menginap disini. Aku belum ingin pulang. Umi dan abi menemuiku, mereka mengusap kepalaku dengan lembut. Sejenak aku memandang wajah umi dan abi, mereka tersenyum tulus kepadaku. “Nak, dalam berumah tangga masalah itu pasti menghampiri entah itu ringan ataupun berat. Masalah itu sendiri, sedangkan kalau kita telah berumah tangga kita bisa menghadapinya berdua, maka harusnya kita bisa mengalahkan masalah yang hanya satu. Masalah yang hanya satu dan ringan kadang menjadi sangat besar kalau kita tidak berhati-hati dalam menjaga lisan. Abi dan umi tidak memaksamu untuk bercerita dan tidak ingin ikut campur lebih jauh dalam keluarga kalian. Abi dan umi percaya kalian bisa mengatasi satu masalah dengan bersama-sama bukan justru menjadi terpecah belah” kata-kata abi yang selalu bisa menyejukkan hatiku.

Malam itu aku merenung, aku bercerita pada Rabb ku. Aku mengadu tentang semua kesalahanku karena tidak bisa menjaga lisan, lisan yang membuat suamiku marah. Hatiku mulai merendah dan menyadari kesalahanku. Aku yang salah tidak memberinya waktu untuk menjelaskan. Aku yang salah tidak bisa menjaga dan mengontrol lisan. Aku yang salah menuduhnya tanpa bukti yang nyata semua hanya berdasarkan persepsi pribadiku. Aku bersujud panjang memohon ampunan pada Rabb ku. Aku bertaubat dari prasangka suudzan dan lalainya menjaga lisan.

Pagi itu aku pulang, wajahku telah cerah kembali tanpa beban. Aku membuka pintu pelan, tak beniat mengganggu tidur suamiku. Namun aku terkejut dengan lantai yang masih basah, menandakan baru saja di pel. Ruang tamu yang bersih, berbeda sekali ketika aku meninggalkannya. Baju kotor yang menumpuk dan batal aku cuci kini telah hampir kering. Aku terduduk diam di meja makan, dalam hatiku menangis haru, jadi suamiku yang lelah setelah seharian mengajar, sore yang kita habiskan dengan bertengkar dan sepagi ini semua sudut rumahku telah bersih dan tertata rapi, mungkin semalam suamiku tidak tidur untuk mengerjakan ini semua. Lalu aku membuka tudung makan khawatir suamiku tidak sempat sarapan. Aku kembali termenung dibuatnya, dibalik tudung makan telah tersaji sepiring nasi goreng kesukaanku dengan tulisan, “Untuk istriku tercinta”.

Aku teringat satu hal, hari ini suamiku harus mengisi kajian di luar kota. Setibanya suamiku dirumah benar saja ia tergesa-gesa untuk berangkat, untung saja aku telah menyiapkan semua keperluannya. Akupun mendampinginya ke luar kota. Sepanjang perjalanan semua telah berjalan seperti biasa. Suamiku telah berjanji akan bercerita kepadaku setelah mengisi kajian. Sambil menunggu suamiku mengisi kajian aku duduk di serambi masjid. Tiba-tiba seorang ibu menyapaku. “Ustadzah istrinya ustadz Wafi ya?”

Aku membalasnya dengan anggukan dan bersalaman. Setelah berkenalan dengan singkat, ternyata ibu ini merantau di kota ini. Pembicaraan kami semakin menarik setelah tahu ibu ini berasal dari desa yang sama dengan rumah yang aku tinggali dengan suamiku. Berawal dari cerita tentang desa sampai tentang pos ronda yang terkenal dengan perjudian dan miras, perlahan ibu ini sampai pada cerita tentang suaminya. Ia sangat berterimakasih kepada suamiku karena suaminya dulu adalah anggota dari pos ronda yang menjadi penjudi dan pemabuk berat. Semenjak kenal dengan suamiku, suaminya sedikit demi sedikit berubah hingga berhenti total. Setelah itu ia dan suaminya memutuskan untuk merantau ke kota ini. Sekarang suaminya telah aktif di berbagai kajian islam. Bahkan pada kajian ini suaminyalah yang merekomendasikan suamiku sebagai pengisi kajian. Cerita kami berhenti ketika suaminya datang berbarengan dengan suamiku. Setelah berkenalan dengan singkat, suami ibu tersebut sedikit bercerita tentang masa lalunya yang menjadi anggota pos ronda yang terkenal dengan perjudian dan miras. Lalu kisahnya bertemu dengan suamiku dan perubahannya. Cerita kami berakhir ketika putri lucu dari keluarga ini merengek mengajak pulang.

Suamiku mengajakku ke sebuah taman yang indah di kota ini. Ia mulai bercerita tentang keprihatinannya melihat kondisi kampung yang penuh dengan pemabuk dan penjudi meskipun di kampung tersebut terdapat pesantren. Setelah mendengarkan keluh kesah dari para ustadz, suamiku mulai berfikir menggunakan cara yang berbeda. Setiap malam ia mendatangi mereka bahkan tak jarang ikut bergabung. Sehingga banyak orang menilai ia ikut menjadi pemabuk dan penjudi, hanya orang-orang tertentu yang mengerti tujuannya lah yang tidak menuduhnya. Ketika datang ke pos ronda ia membawa sedikit uang receh, makanan dan teh atau kopi. Uang receh ia gunakan di awal untuk ikut bermain judi. Ketika menang ia tidak pernah menerima uang dari lawannya. Sambil bermain judi dengan kartu, kebiasaan pemuda disitu sambil menenggak miras. Ketika ia diajak untuk minum alkohol ia menolak, meskipun dipaksa untuk mencobanya. Sehingga karakter yang telah di kenal oleh kelompok tersebut adalah ia mau diajak bermain kartu tapi jangan sekali-kali menawarinya dengan alkohol. Jadi ketika yang lain menenggak alkohol ia meminum teh dalam botol. Setelah itu ia mulai mempengaruhi bahwa minum teh atau kopi itu lebih sehat dan nikmat. Bahkan ia sengaja membawa teh dan kopi dalam jumlah banyak dan dibagikan secara gratis. Sehingga beberapa orang mulai berpikir lebih baik minum teh atau kopi alasan awalnya karena gratis. Dalam jangka waktu panjang mereka semua telah berhenti mengkonsumsi alkohol. Selanjutnya untuk mengubah penjudi ia banyak belajar bermain kartu. Ia selalu menang dalam bermain namun ia tidak mau menerima uang dari lawannya sehingga ia mulai dapat memberikan pengaruh bahwa bermain kartu bisa tetap seru meskipun tidak menggunakan uang. Uang yang telah dikumpulkan lebih baik di tabung untuk keperluan keluarga. Karena tidak ingin kehilangkan partner bermain kartu yang seru mereka menurut. Akhirnya pemuda di kampung tersebut terbebas dari perjudian dan pemabuk.

Namun suamiku tidak ingin berhenti disitu. Ia membangunkan pemuda untuk sholat shubuh berjamaah di masjid. Nah sejak kami menikah suamiku jarang berkumpul lagi dengan mereka dan mendapat kabar beberapa pemuda yang baru pulang dari kota mempengaruhi pemuda kampung untuk berpesta miras kembali. Sehingga ia terpaksa meninggalkanku untuk ke pos ronda. Baju yang beraroma alkohol itu kejadiannya ketika ia membangunkan salah satu pemuda tanpa sengaja menyenggol botol miras dan tumpah mengenai bajunya. Ia juga menjelaskan mengapa ia belum menceritakan padaku karena belum ada cukup waktu untuk bercerita, ia tidak ingin bercerita dengan terpotong-potong. Aku bisa memahami semua ceritanya sekaligus menemukan jawaban mengapa pandangan orang tentang dirinya seperti itu dan abi tetap menjodohkanku dengannya. Kita saling bermaafan, peristiwa ini mengajariku tentang betapa pentingnya menjaga komunikasi dan mengontrol lisan. Akupun menyadari satu hal. “Jadi Aa’ jago main kartu dong” sambil memandangnya. Ia pun berbalik memandangku dan tersenyum.

Oleh : Pristina Tuti Wijayanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *