Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Latte Cookies isi Tiga

razia-tas-mahasiswa-malas-kuliah
Gambar: Razia Tas Mahsiswa Malas Kuliah; WN 2016, copyright

Hari Raya Idul Fitri a.k.a lebaran merupakan hari besar bagi umat muslim. Aku pribadi sangat senang jika hari kemenangan ini tiba. Seluruh keluarga besar dari Palembang akan datang ke Jakarta. Biasanya kami semua berkumpul dirumahku. Kebetulan ayahku adalah kakak paling tua. Kami tidak menganut sistem “mudik”. Maklum, kakek dan nenek sudah lama meninggal. Lagi pula keluarga yang di Palembang lebih suka ke Jakarta. Jakarta sangat sepi saat Idul Fitri. Kamu mau foto di tengah jalanan Sudirman juga tidak ada yang mengusir.

Kaftan merah muda membalut tubuhku yang ramping. Pashmina putih kusematkan untuk menutupi rambutku. Mau pakai sepatu apa hari ini? Aku segera memilih flip flop putih ketika suara berat ayah memanggil. “Ika, sebentar lagi sholat dimulai. Kamu pakai apa saja tetap cantik.” Ayah perokok berat. Sehari bisa satu bungkus rokok kretek. Biar bagaimana pun aku sangat menyayanginya. Bagiku, ayah adalah pahlawan. Setelah ibu meninggal, ayah yang selalu mengurus semua keperluanku. Dari mengganti popok sampai membuatkan susu hangat pukul 3 pagi. Sekarang, hampir seluruh rambutnya mulai memutih. Matanya yang tampak lelah selalu menatapku lembut.

Aku senang sekali karena beberapa sepupuku sudah punya anak. Jadi aku bisa bermain dengan keponakan – keponakanku. Aku suka anak kecil. Mereka sering bertanya mengapa ini itu dan aku selalu bisa menjawabnya. Pertanyaan paling lucu dari keponakan pertamaku, Mika. “Onty, kalau burung terbang pakai sayap, balon terbangnya pakai apa?” Bahkan aku tidak pernah berhenti mengajak mereka mengobrol. Aku selalu menjelaskan benda-benda yang ada di sekitar kami. “Lihat tidak benda yang bergerak di langit? Itu burung. Sekarang tampak kecil karena burung itu jauh dari kita. Jika burung itu terbang ke arah kita, maka lama-lama akan semakin besar.” Mika mengangguk pelan. Sebenarnya burung tersebut bisa dianalogikan dengan suatu masalah. Jika masalah itu belum kamu alami sekarang, masalah itu tampak kecil. Masalah akan terasa berat jika sedang kamu alami. Tapi jika sudah terlewati, masalah akan terasa ringan lagi. Jelas saja analogi ini tidak aku ceritakan ke mereka. Mereka belum perlu mengetahui masalah kehidupan.

“Ika, kapan kamu mau kenalin calonnya?” Ini lah pertanyaan yang aku paling benci. Aku tahu aku sudah berumur 29 tahun, tetapi apakah pertanyaan seperti itu akan membantu? Calon apa? Calon gubernur? Ingin sekali rasanya kembali menjadi anak kecil dan bergabung dengan keponakan – keponakanku yang sedang bermain di halaman rumah. Namun aku tetap harus menemani uwak-uwak bawel yang sama sekali tidak membantuku menemukan jodoh.

Seandainya saja jodoh bisa dibeli. Aku sudah bekerja dengan gaji 10 juta per bulan. Aku sudah memiliki rumah sendiri. Aku sedang mencicil mobil. Aku punya saham di perusahaan besar dan punya satu brankas emas batangan. Aku tidak mengerti mengapa laki-laki tidak ada yang mau mencoba serius denganku. Setelah aku bawa ke rumah untuk bertemu ayah, pasti mereka pergi meninggalkanku. Mereka hanya ingin serius dengan hartaku. Tuhan, beli jodoh di mana? Ah sudahlah. Aku sedang ingin menyendiri.

Aku izin sebentar ke ayah untuk pergi membeli cemilan. Kebetulan, kue lebaran sudah habis dilahap keponakan-keponakan. Para tamu masih mengobrol dengan asyik. Seperti sarang lebah, dengungan gosip-gosip keluarga menggema di ruangan. Perceraian sepupu jauh, anak autis dari adik ayah yang pertama, sampai sandal flip flop putihku yang dianggap tidak rapih. Bersyukurlah aku karena lebaran identik dengan kue. Aku jadi memiliki alasan untuk menyendiri sebentar. Aku laju mobilku ke kafe dekat rumah. Sepi sekali tidak ada pelanggan lain selain aku.

“Mau pesan apa, Kak hari ini?”

Latte Cookies aja mbak tiga. Large size ya. Dibawa pulang.”

Degup jantungku tak menentu ketika aku mendengar suara berat perokok.

“Kalian jangan menanyakan jodoh kepada Ika. Saya tidak ingin menikahkan dia dengan laki-laki mana pun. Tidak ada laki-laki yang bisa menjaga Ika sebaik saya.”

Bunyi toples pecah mengejutkan seisi ruangan. Latte cookies hanya tinggal remahan.

***
Sekitar 30 menit aku berada di ruangan sempit ini. Jika kamu manusia, kamu akan menamai ruang ini sebagai toilet. Aku sedang menunggu di toilet. Aku berdiri di depan closet duduk kusam dengan flush yang sudah tidak berfungsi lagi. Percayalah aku ingin segera keluar dari toilet ini. Bau pesing menyerbak di udara, membuat aku merasa air kencing melekat di tubuhku. Biasanya kecoa muncul dari lubang air. Syukurlah kali ini tidak.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Aku berdiri dan tidak sedang kencing. Aku juga bukan murid yang sedang ingin kencing tetapi tidak ada tempat untuk berlari. Aku sedang menunggu seseorang. Seseorang yang pernah membuatku terbang disaat dia menggandeng kedua tanganku. Seseorang yang pernah membuat aku meleleh saat dia mencium bibirku di bawah bulan purnama. Seseorang yang kemudian tidak ingin memiliki komitmen denganku.

Pintu toilet berderit pelan seiring seseorang yang kutunggu 33 menit itu masuk.

Seseorang ini langsung mencium bibirku dengan nafsu dan meremas-remas payudaraku. Bau pesing dan kecoa menguap dari pikiranku. Birahi. Kami bercinta kurang lebih 5 menit. Tentu saja dia tidak mengeluarkan sperma di dalam. Setelah itu dia membersihkan penisnya dan memberiku isyarat untuk menunggu. Kemudian dia keluar dari toilet. Aku hanya bisa menunggu.

Kemudian aku mendengar bisikan seseorang yang aku tunggu dibalik pintu toilet. “Kamu bisa keluar sekarang. Sudah tidak ada orang.” Aku keluar dan langsung pergi dari kantor seseorang itu. Aku lapar. Bukan. Aku ingin mengalihkan kesedihanku. Mengalihkan rasa ibaku pada diri sendiri. Bercinta kok di toilet?! Bodoh sekali kamu Marni! Kebetulan dekat kantor ini ada kafe. Aku berjalan 10 menit dan langsung menuju kasir untuk memesan.

“Latte Cookies satu ya, Mbak”

Tenggorokanku tercekat ketika lonceng di pintu masuk berbunyi. Seseorang itu masuk ke kafe sambil merangkul Aini, anakku.

***
“Oi weekend lo kemane?”

“Biasa ngapel ke tempat cewe gue.”

“Bro, kalo lo kemana? Temenin gue nonton kek gitu.”

“Yelaah. Ogah kaya homo nonton berduaan doang. Gue lagipula mau ngajak gebetan gue romantic dinner.”

“Njir, sialan nih anak-anak ninggalin gue sendirian di kosan” umpat Baga dalam hati. Sempat terfikirkan olehnya untuk nongkrong di warung atap. Warung atap ini merupakan tempat nongkrong di dekat kampusnya. Biasanya mulai jam 8 malam sudah ramai canda tawa tak berguna dari mahasiswa-mahasiswa untuk sekedar melepas penat. Jangan tanya sampai jam berapa, karena memang tidak ada batas waktunya! Warungnya sempit, hanya terdapat 4 bangku panjang dan 2 meja panjang. Kalau lagi rame banget, bocah-bocah tongkrongan itu bisa sampai duduk di trotoar. Yang penting happy, mamen!

Tapi Baga lagi nggak mood nongkrong. Badan Baga agak pegal-pegal setelah naik gunung. Nggak kebayang deh kalau harus duduk-duduk di trotoar tengah malem. Yang ada semaput dah! Alhasil, Baga menekan tombol power laptopnya dan mulai membuka folder bernama “Tugas”. “Nonton bokep aja kali ya? Ah tapi ngenes amat gue nonton bokep malem minggu.” Anyway, Baga sengaja meletakkan film bokep di folder Tugas. Biar aman kalau ada yang kepo kumpulan film di laptopnya. “No no no! Nonton film action aja deh”. Baga gitu-gitu masih punya harga diri.

Pastinya pada kepo kenapa Baga nggak pacaran. Muka Baga cakep. Sebelas dua belas sama Boy William. Rambutnya yang kecoklatan serasi dengan matanya yang coklat gelap. Mukanya pun bersih, nggak jerawatan. Nggak bakal bikin lo malu pacaran sama Baga. Miskin juga nggak. Baga punya motor Vixion. Jadi kalo punya pacar, Baga siap antar jemput. Badan udah oke. Baga paling merhatiin makanan yang masuk ke perutnya. Perut Baga memang nggak six pack, tapi nggak buncit kaya cowo-cowo kebanyakan. Baga juga punya otak. Di kampus, dia pernah masuk nominasi mahasiswa berprestasi. Nggak sampai menang sih, katanya males menyandang gelar begitu. Jadi beban. Pas udah masuk sesi final, Baga malah ngumpet di toilet kampus.

“Jadi apa sih yang kurang dari Baga?”

“Memang si Baga pernah pacaran?”

“Ah homo kali dia!”

“Yang bener lo?”

Semua gosip tersebut sering kali lewat telinga Baga. Baga nggak peduli. Baginya, pacar bukan lah yang utama. Pacar gampang nyarinya. Dia ingin mencari pendamping hidup. Itu baru susah! Harus milih dengan bijak. Seperti bartender kafe langganan Baga yang ahli memilih biji kopi terbaik. Biji terbaik akan menghasilkan cita rasa kopi yang tiada dua. Lagi pula, Baga ingin berdamai dengan masa lalu.

Baga pernah punya pacar. Namanya Ami Rose. Namanya benar-benar Ami Rose. Baga tidak akan pernah melupakan nama itu. Usia Ami Rose 17 tahun (waktu itu). Mereka saling mengasihi satu sama lain. Baga sering sekali mengajak Ami Rose makan di kafe. Ami Rose sering memberikan hadiah-hadiah kecil setiap bulannya. Ami Rose sering mengajak Baga ke rumahnya.

Namanya anak SMA, rasa ingin tahunya tinggi sekali. Rumah yang selalu sepi membuat Baga dan Ami Rose ingin berbuat lebih jauh. Pertama-tama selalu menggunakan kondom. “Sakit, sepertinya nggak usah pakai gapapa ya?” pinta Ami Rose. Selanjutnya kondom hanyalah pajangan di meja belajar. Seks itu adiktif ya?

Dua minggu terlambat menstruasi, Ami Rose mengandung anak Baga. Jantung Ami Rose berdegup kencang. Percaya tidak percaya, dia menggenggam strip tipis yang telah menunjukkan dua garis merah. Dia harus memberitahu Baga secepatnya. Tapi, apa yang harus dia katakan ke orang tuanya? Akan kah dia masih dianggap anak? Ami Rose, putri tunggal pengusaha tambang terbesar di Indonesia, hamil di luar nikah? “Ah mungkin Baga mau bertanggung jawab. Pasti mau. Baga kan cinta mati sama aku.”

Ami Rose memberikan hasil test pack ke Baga setelah pulang sekolah di depan gerbang. Baga melihat dua garis merah pada strip tipis itu. Baga yang saat itu masih SMA merasa tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatannya.

“Emang gue gak tau lo main sama siapa aja, Mi? Giliran gini gue yang mesti tanggung jawab!”

“Ga.. aku tahu aku deket sama banyak cowo. Tapi ini beneran kamu Ga. Aku lagi mengandung anak kamu. Aku nggak tau lagi Ga harus gimana…” Ami Rose mulai menangis. Matanya yang indah kini basah dengan air mata. Entah air mata buaya atau bukan.

Emang dasar Baga. Dia berusaha nggak peduli Ami Rose menangis atau pun hamil. Meski begitu, jantungnya berdegup kencang. “Gue? Jadi seorang ayah?” Batinnya. Keringat jatuh dari pelipisnya. Tangannya basah. Baga tidak bisa berfikir jernih.

Baga menyalakan mesin motor dan meninggalkan Ami Rose begitu saja. Baga menancapkan gas dan melaju entah kemana. Kemana saja lah!

Tak lama, hp di saku celananya bergetar. Mungkin Ami Rose menelfon. Ingin meminta Baga menikahinya? Baga tetap melaju kencang motornya. Sampai akhirnya hujan turun, terpaksa Baga menepi. Kebetulan sekali, Baga menepi di kafe tempat dia menyatakan cinta kepada Ami Rose. Baga ingat sekali Ami Rose suka Latte Cookies di kafe ini. Sembari menunggu pesanan, Baga mengecek hp. 36 missed call dari teman Ami Rose, 1 pesan singkat dari teman sekelasnya.

“Ga dmn? Cpt ke rs medika skrg. Ami tabrak lari”

Ami Rose binti Rosyidin
Lahir 26 Juni 1996
Wafat 8 Agustus 2013

Sebuah nisan kayu yang masih basah.

“Ami, ini aku bawain Latte Cookies kesukaan kamu. Kemaren aku beli ini buat kamu. Maafin aku, Mi.” Air mata mengalir di pipi Baga. Entah air mata buaya atau bukan. Setoples Latte Cookies penuh kenangan terlanjur dibeli.

***

Sekeping cookies bisa membuatmu lupa. Lupa akan kesedihan sampai lupa akan siapa dirimu. Pilihan lupa ini ada di kepala masing-masing manusia dengan penuh luka dan pengorbanan. Apakah kita masih bisa memilih?

-WN-
Dramaga, 29 November 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *