Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Nokturnal Purnama (Part 1)

 

Pengendara Semu-ayuwinati
Pengendara Semu Oleh: BIW

Purnama tidak pernah sebesar ini. Bahkan tidak pernah seterang ini. Bintang-bintang pun seraya di telan cahaya liar sang purnama. Kami tidak butuh bintang jika purnama bisa menerangi jalan alternatif yang kami lalui. Kami takut diikuti motor lain dan dibegal. Kami juga takut menabrak jebakan tali atau pohon tumbang yang dipasang di tengah jalan oleh tukang begal. Berkat purnama, motor kami dapat melaju mantap dengan kecepatan 100 kilometer per jam. Jika ada polisi, pasti kami dikejar dengan sirinenya yang meraung-raung.

“Tolong awasi belakang kita terus ya. Kalau-kalau ada motor tanpa lampu mengikuti”. Dia memang selalu tahu resiko yang akan terjadi pada suatu kondisi. Seperti saat aku mengajaknya menyusuri karang-karang menuju Pantai Karang Seupang sewaktu kami bulan madu. “Kalau mengitari pulau, pasti tidak akan tersesat kan? Air laut juga belum terlalu tinggi. Kita bisa lewat Karang Taraje, lalu menyusuri tepi pulau sampai Karang Seupang. Daripada lewat perkampungan dan menyewa guide”. Dia mendesah pelan, “Kamu kebayang karangnya kaya apa? Berbukit dan tajam-tajam. Kamu pakai crocs loh yang solnya pun sudah licin. Belum lagi kalau capek di tengah jalan, kita tidak bisa berhenti karena air laut akan terus meninggi dan menenggelamkan karang. Tidak pula bisa menepi karena dataran pulau ini berupa tebing. Pilihan hanya tinggal maju terus atau mati terhempas ombak di antara karang-karang.”

Aku menoleh ke belakang. Rasanya ingin menyewa leher burung hantu agar leher ini tidak pegal. Aku tajamkan pandangan dan aku tegakkan telinga. Kosong. Sunyi. Terhampar jalanan lapang di antara pohon-pohon kelapa sawit, diiringi suara mesin motor bebek sewaan kami dan suara jangkrik bersahut-sahutan. Tiba-tiba dia mencengkram lutut kiriku, agak keras.

Sontak aku menolah ke depan. Terlihat satu truk parkir di kanan jalan. Aneh, padahal kemudi truk itu menghadap searah dengan kami berjalan, kenapa truk itu diparkir di kanan jalan? Di tengah kebun kelapa sawit begini? “Mah, jangan menoleh apa pun yang terjadi, jangan!” dia berbisik setengah teriak. Tampak lelaki paruh baya muncul dari depan truk. Dia telanjang. Benar-benar telanjang, hanya terbalutkan sinar purnama. Perutnya bergelambir kemana-kemana. Lengannya besar berotot, mungkin karena setiap hari mengemudikan truk tanpa power steering. Kemaluannya kecil seperti habis memuntahkan cairan sebanyak-banyaknya. Bijinya mengerut. Kata “jangan” sepertinya memang ada untuk dibantah. Setelah motor kami melewati truk tersebut, aku sedikit menoleh. Terbaring wanita tanpa busana di depan truk itu. Dia mencengkram lutut kiriku lagi, kali ini sangat keras. “Mah! Bukan urusan kita, stop menoleh jika kamu tidak mau kita dikejar laki-laki itu.” Aku menelan ludah, menyandarkan kepala di punggungnya. Memeluknya semakin erat.

Aku berani bertaruh wanita itu bukan istrinya. Pokoknya hubungan diantara mereka pasti bersifat rahasia. Apakah wanita itu pelacur? Di bayar berapa dia disetubuhi di jalan aspal begitu? Memangnya berapa upah supir truk disini sehingga dapat menyewa perempuan panggilan? Jangan-jangan lelaki tadi menculik dan memperkosa wanita itu? Apakah wanita itu akan mati dibunuh? Mungkin mayatnya akan di buang di tengah-tengah kebun. Subuh nanti, mayatnya akan ditemukan oleh petani. Apakah laki-laki tadi akan mengejar kami? Gara-gara aku menoleh dan menjadi saksi atas perbuatan bejatnya? Ya Tuhan! Aku hanya ingin kami selamat malam ini.

Tanganku mencari-cari benda di dalam kantong jaket kulit yang aku kenakan. Jaket kulit ini selalu aku kenakan jika berpergian ke luar kota. Almarhum Kakek yang membelikannya. Bisa dibilang aku cucu kebanggaan kakek. Aku lah yang akan meneruskan kakek menjadi seorang guru. Walaupun aku tidak akan menjadi guru sekolah seperti beliau, melainkan dosen di universitas negeri. Ah masih ada! Aku genggam benda tersebut erat-erat. Susah-susah kami dapatkan benda ini tadi malam, tidak akan kubiarkan siapa pun merenggutnya!

Aku jadi panik sendiri. Aku terus menerus menoleh ke belakang, kalau-kalau ada seberkas sinar lampu truk dari kejauhan. Saat ini, di kepalaku, tukang begal kalah saing dengan supir truk tadi. Seakan menyadari keresahanku, dia mengelus lutut kiriku lembut. “Tenang, Mah. Sepertinya kita tidak diikuti. Sebentar lagi kita sampai perkampungan, kurang dari sepuluh kilo.” “Akan kah kita sampai tepat waktu, Pah?”. Laju motor menurun drastis. Helm yang aku kenakan membentur helmnya. Suara decitan rem tidak terelakkan. Motor kami berhenti melintang agar kami tidak jatuh terguling-guling. Di tengah jalan, tergeletak sebatang besar pohon kelapa sawit menghalangi seluruh ruas jalan. Dari belakang, terdengar suara mesin truk datang mendekat.

“Siapkan revolver kamu, Mah.”

WN
Pondok Pucung, 31 Desember 2017
Early birthday gift for BIW

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *