Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Andai

“Ah, Hujan lagi.”

Mungkin itu yang ada dibenak sang gadis sekarang. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kecewanya karena harus terjebak di teras perpustakaan. Smartphone ditangannya pun telah menunjukkan bahwa hari mulai larut malam. Mau bagaimana lagi, prioritas mengejar predikat cumlaude membuatnya memilih menyelesaikan lembaran-lembaran skripi lebih cepat. Pulang lebih larut demi mendapatkan koneksi internet gratis di perpustakaan kampus pun telah menjadi rutinitasnya.
Gadis ini bisa dibilang istimewa. Nilai IPK tinggi, fisik atletis, dan paras ayu telah menjadi capnya. Sudah banyak mahasiswa yang menjadi korban karena perasaan mereka tak ada yang diterimanya. Meski tidak semua.
“Hai, maaf lama nunggu ya?” Seorang lelaki menghampirinya “Yuk, mobilku di parkiran.”
“Iiihhh, lama banget sih,” Sang gadis yang walaupun kesal tetapi masih bersikap manja “Udah kedinginan tau. Lain kali jangan telat lagi.”
“Janji deh gak bakal telat lagi jemput kamunya.” Sang lelaki tertawa. Mereka pun berlalu di bawah payung yang sama. Aku hanya bisa memandang dari jauh menahan sesak hati yang terasa. Air mata yang mengalir bersatu dengan rintik hujan.
****

“Hai Vik,” Suara lembutya membuatku berpaling dari layar monitor.
“Hai Risa,” Kulihat wajah ayunya berseri-seri. Tak pernah sebelumnya aku melihatnya sebahagia ini hingga Juan, pacarnya semenjak kuliah, melamarnya. Cincin perak yang melingkar di jari manisnya merupakan buah hasil pertunangan mereka. Segera pernikahan mereka akan terwujud.
“Pulang bareng ya,” pintanya. Kami rekan satu kantor sekarang. Semenjak kuliah kami memang sering bersama. Sudah sering kami berbagi berbagai cerita suka dan duka. Kami saling menghibur saat salah satu dari kami bersedih dan ikut berbahagia saat salah satu dari kami bahagia. Maka dari itu aku turut bahagia melihatnya orang yang kucintai bahagia meskipun bersama orang lain.
“Juan belum balik?” Juan ditugaskan di luar kota oleh atasannya tepat beberapa hari usai bertunangan dengan Risa. Sudah hampir tiga bulan dia di luar kota.
“Iya, kangen ih lama gak bisa ketemu” katanya. “Padahal kami udah tunangan.”
“Iya deh kita pulang bareng. Sebentar ya.” Ku selesaikan sisa kerjaan dan berbenah untuk pulang. Dan tak lama roda empat milikku melaju di jalan menuju rumah.
Banyak yang sudah aku ketahui tentang Risa. Bagaimana tidak, berbagai cerita sudah kudengar darinya, termasuk betapa kangennya dia kepada Juan yang cukup membuat panas hati. Masih kupaksakan senyum terpasang diwajahku. Jujur aku merasa iri dengan Juan. Tapi apa daya takdir memang tidak bisa menyatukan kita.
“Kamu benar-benar bahagia ya bersama Juan?”
“Tentu,” sahutnya. “Juan melengkapi hidupku. Dia memberikan apa yang tidak bisa aku dapatkan selama ini. ” Kulihat betapa lebarnya senyum merekah di wajahnya. Tapi sayang senyumnya itu tidak akan pernah bisa kulihat lagi.
****

“Risa!” teriakku. “Kamu tidak perlu melakukan ini.”
Sekarang kami ada di atas atap kantor dan hujan cukup lebat menyelimuti kami. Kondisinya sekarang adalah dia ingin melompat dan membunuh dirinya sedangkan aku hanya berusaha untuk menggagalkan usahanya. Dengan berdiri membelakangiku dia menangis.
“Aku gak bisa hidup tanpa Juan, Vicky” Juan, terima kasih padanya. Setelah dia merenggut Risa dariku, sekarang dia merusaknya. “Hanya Juan yang dapat melengkapi hidupku. Tapi sekarang dia pergi begitu saja dan menikah bersama orang lain.”
Oke, jadi saat pergi ditugaskan di luar kota, Juan membuat kesalahan. Dia mabuk dan menghamili seorang gadis yang baru dikenalnya dalam semalam. Tentu Juan sudah menyuruh gadis itu untuk menggugurkan kandungannya. Tapi Juan sudah bermain api. Gadis itu sudah jatuh cinta pada Juan dan tak mau menggugurkan kandungannya. Buruknya lagi orang tua gadis ini mengetahuinya dan menuntut Juan bertanggung jawab. Pada akhirnya pertunangannya dengan Risa dibatalkan dan dia menikahi gadis yang dihamilinya tersebut.
“Aku tahu Juan telah membuat hidupmu berantakan,” kataku. “Tapi kamu tidak harus mengakhiri hidupmu Risa. Masih banyak orang yang bisa membahagiakanmu.”
“Kamu tidak tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang kamu cintai.” Tentu aku tahu. Dan semua itu kurasakan saat Risa dan Juan bertunangan.
“Maaf Vicky,” Risa mulai melangkah ke tepian. “Tapi hanya Juan yang bisa membuatku bahagia.”
“Risa, hentikan!” Angin menambah terpaan. Rintik hujan mulai terasa sakit dikulit. Tentu rasanya tak seberapa dibanding rasa sakit dihati melihat Risa yang periang menjadi depresi seperti ini.
Risa membalikkan badan, menatap langit, mencoba menyembunyikan air matanya bersama rintik hujan.
“Selamat tinggal Vicky.”
Semua terjadi begitu cepat. Risa menjatukan tubuhnya tetapi tanganku tak cukup cepat menggapainya. Sesaat setelah itu aku hanya bisa melihat tubuh Risa terbaring di bawah gedung. Air mataku tak terbendung. Hatiku hancur. Waktu serasa melambat. Bahkan aku tidak bisa mendengarkan teriakkanku sendiri memanggil Risa.
****

Risa selamat. Tapi dia tidak akan pernah menjadi Risa yang sama seperti sebelumnya.
Dokter mengatakan tulang belakang Risa mengalami kerusakan. Sarafnya tidak akan berfungsi normal kembali. Risa mengalami kelumpuhan. Bahkan untuk bicara saja tidak mampu. Diatas kursi roda dia termenung. Risa hanya bisa menatap kosong ke depan dengan wajah yang sendu. Sungguh memilukan melihat kondisinya saat ini.
Andai Risa tahu aku mencintainya. Andai aku bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya bahagia. Tapi takdir berkata lain kerena aku juga seorang wanita.

-End-
by Ardian Farizaldi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *