Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Sepotong Tinja Untuk Pacarku

Malina Tercinta,

Maaf, aku tidak mengirim pesan lewat surat kepadamu. Bukan aku tak ingin romantis, di jaman serba cepat ini, untuk sekadar pesan cinta, media surat dirasa terlalu lamban. Aku ingin cepat Malina, secepat aku menjatuhkan cintaku padamu ketika itu. Maka, ketimbang surat, aku memilih menyampaikan segala rasaku tentangmu lewatWhatsapp.

Bersama pesan ini aku kirimkan padamu segala macam emotikon cinta, beberapa potongan gambar berisi kalimatbijak tentang cinta, oh dan tak lupa aku kirim tautan Youtube berisi video klip lagu kesukaanmu.

Apakah kamu menerimanya dalam keadaan sadar?

Malina Terkasih,

Kini, rasa rindu itu tak ditentukan jarak dan waktu. Di manapun kau berada Malina, selama ada sinyal, rindu pun serta merta akan kita sudahi. Mau aplikasi mana yang kau pilih untuk bisa bertatap muka?

Aplikasi manapun akan kuinstal demi kau, Malina.

Tampaknya rindu sudah tak senaif dahulu, rindu tak lagi dipadankan dengan menggebu, rindu bukan lagi semacam derita panjang sepasang kekasih yang berjauhan, rindu dengan mudahnya dapat dikikis oleh anekamacam perangkat lunak. Maka, rindu pun melunak, berkat andil perangkat lunak, Malina.

Oh, tidak Malina. Rinduku padamu tak selunak itu. Rinduku pun keras. Rinduku tidak sekadar rindu ingin bertatap muka atau bertukar kabar, ada rindu yang tak mungkin bisa punah oleh perangkat lunak itu. Aku rindu menggenggam tanganmu, memainkan jari-jari lentikmu satu demi satu, membelai rambutmu yang ikal bak riak ombak bersusulan, menyentuh kulit putihmu yang seputih pualam, mendekap erat tubuhmu hingga jantung kita saling melekat, saling memacu degupan, saling menghamba bahwa degupan jantungku hanya untukmu, Malina.

Bibirmu Malina, bibirmu. Aku rindu mengecup bibir itu. Bibir yang selalu membuatku diam ketika kau mengisahkansegala kegelisahan dunia, bibir yang kerap mengguratkan senyum betapapun beratnya beban hidup yang mesti kautanggung. 

Bibir yang tak hanya jadi saksi keluh kesah tapi juga ketika kita berbagi desah.

Tengkukmu, Malina, tengkukmu yang dihiasi helaian rambut tipis itu. Tengkukmu yang ramping itu terlihat jelas ketika rambut sebahumu diikat. Aku rindu ketika telapak tanganku menyentuh tengkukmu itu, memijatnya pelan, lalu kaumulai menyandarkan kepalamu di bahuku.

Tak lama kemudian, matamu yang jernih itu, mulai melirik padaku. Kau mendongakkan wajahmu dari bahuku, aku sambut lirikanmu, kita saling bertatapan, saling menyelami kegelisahan masing-masing. Tanpa perlu banyakberkata, aku sudah tahu maksudmu, kau pun tahu apa inginku. 

Tanpa diperintah siapapun, wajah kita salingmendekat, pelan… perlahan tapi sarat dengan makna.

Hembusan nafasmu, Malina. Hembusan nafas itu wangi permen karet rasa stroberi. Aroma itu membawa jiwaku beranjak sejenak, membawaku terbang ketika kita menghabiskan waktu bersama dengan memetik stroberi matang yang semerah gincu bibirmu.

Hah…Malina. Biarkan aku memetik stroberi itu. Biarkan aku mengulum stroberi itu, menggigitnya perlahan, hinggasegala rasa rumit dalam stroberi itu luruh di lidahku. Biarkan aku, Malina. Itu pun jika kau mau, dan iblis merestuikita.

Malina nun entah di mana, aku bisa saja mengandalkan imajinasiku yang liar. Membayangkanmu yang entah ada dimana, sambil merancap seolah kau seranjang denganku. Aku bisa saja pergi ke Saritem, mencari perempuan yang berwajah mirip denganmu, tapi itu mustahil. Mustahil menemukan jiwa yang sama denganmu. 

Ini bukan hanya soal hasrat semata, gerak tubuhku juga mengandung sembah jiwa. Aku menginginkanmu, Malina, selengkap-lengkapnya, sepenuh-penuhnya.

Malina batu pualamku,

Entah kau ada di mana kini. Aku hanya ingin mengirim pesan cinta lewat Whatsapp ini, berharap kaumembacanya, berharap centang dua warna biru, Malina! Tetapi, aku mulai sadar, sedari tadi pesan ini hanya centang satu, itu artinya ini hanya centang pengharapan. Mungkin, kini kau sudah mengganti nomormu, atau sudah memblokir nomorku, entahlah, penolakan ternyata berlaku juga di dunia maya.

Baiklah Malina, kalau begitu. Biarlah pesan cinta ini berakhir menjadi sekadar pesan pengharapan. Biarlah pesan ini mengalir melewati sungai yang bau, berbelok ke laut yang berbusa-busa. Sudah saatnya Malina, aku iringi pesan cinta ini bersama sepotong tinja yang baru saja aku keluarkan dari liang duburku.

Pesan cinta lewat Whatsapp, yang aku tuliskan dengan rasa penuh romansa dan perut yang mules di toilet umum pom bensin. Selamat tinggal Malina, ku harap kau tahu, bahwa rinduku keras, lebih keras dari tinja pagi ini.

Salam.

(Sebuah karya Prosa dari Candra Asmara)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *