“Pernahkah kau merasa hancur?”
Hancur bagaikan cermin menghantam lantai, berkeping-keping.
Bahkan kepingannya masih dapat menyakitimu.
Kepingannya masih bisa menusuk, menusuk ke dalam hatimu.
Pernahkah kau merasa ini bukan duniamu?
Bukan dunia yang cerah dan hangat seperti yang kau inginkan,
melainkan dunia yang dingin dan gelap yang tak pernah kau harapkan.
Di dalam sana kau berteriak, “Selamatkan aku!”
Tapi kau disana, sendiri, tak ada yang menemani.
“Pernahkah kau ingin melarikan diri?”
Melarikan diri dari dunia yang menjijikkan ini.
Melarikan diri dari semua ilusi yang kau alami saat ini.
Tetapi saat kau menemukan pintu,
mencoba mendobrak dan keluar dari kegilaan ini,
kau terjatuh,
tertarik oleh gravitasi,
dan tak ada tangan yang akan menyelamatkanmu.
Kau tidak tahu seperti apa rasanya saat tak ada yang baik-baik saja.
Kau tidak tahu seperti apa rasanya saat kau mempelajari cara terpedih untuk membungkam canda dan tawamu.
Kau tidak tahu seperti apa rasanya untuk menjadi yang tersakiti,
yang kehilangan,
dan yang terbuang dari duniamu.
Tidak, kau tidak tahu seperti apa rasanya.
Maka, selamat datang di duniaku.
(Sebuah remah cerita bocah broken home)
-Ardians, 6 September 2013-