Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

The Original

Screenshot_20200126-160851_Samsung Notes

Aku sedang mengemas pakaian saat mamah masuk ke dalam kamar. “Sajadahnya bawa yang ini aja, tipis, jadi bisa diselipin di sisi koper. Oh iya jangan bawa uang banyak-banyak, nanti ilang. Semuanya dibayarin kan?” Aku cuma mengangguk sembari menerima sajadah tipis itu. Melihatku sibuk di dalam kamar yang berantakan, mamah nemilih pergi keluar kamar dan memanggil-manggil kucing peliharaan kami. Sebenarnya aku tidak setuju dengan pernyataan mamah tadi. Pertama, sepertinya aku tidak akan sholat 5 waktu di Flores. Kegiatan kami

akan seharian, keliling-keliling rumah penduduk yang mayoritas beragama katolik. Rasanya aneh untuk beribadah di rumah orang yang berbeda keyakinan. Disana juga jarang ada
masjid atau mushola. Paling aku hanya akan sholat subuh dan isya di kamar hotel. Aku bisa menggunakan selimut sebagai alas sujud daripada harus membawa sajadah ini. Kedua, apakah di Flores banyak ATM seperti di Jakarta sehingga aku tidak perlu membawa uang banyak

dari sini? Apakah kami sempat mampir ATM? ATM-nya memang dari bank apa? Aku akan tetap membawa uang agak banyak. Tentu tidak semua aku letakkan di dompet. Aku pisah ke dalam beberapa amplop dan aku letakkan di dalam daypack, tas pinggang, koper, dan dompet tentunya.

Selesai mengemas koper, aku merebahkan diri di kasur. Jam dinding menunjukkan pukul 22.53. Selagi menunggu pesan singkat dari pacarku, aku browsing tentang flores. Morfologi wajah penduduk flores memang berbeda ya dari orang jabodetabek. Bahasa daerahnya jauh berbeda, intonasi yang digunakan tinggi dengan ritme yang sedikit cepat. Kalau dilihat-lihat sepertinya disana patriarki sekali ya. Apa kah mereka berkenan menerima tamu perempuan? Bisa tidak ya aku mewawancarai mereka? Lah jangankan wawancara, melihat aku yang seperti peranakan cina ini, nanti mereka malah menutup pintu rumah. Tanpa sadar, daritadi aku menggigiti bibir. Aku bangkit dan mencari buku catatan di dalam daypack. Target dari kantor sebanyak 100 responden pada setiap kabupaten dalam waktu 3 minggu. Ada 8 kabupaten

di Pulau Flores. Sekarang, target ini jadi terkesan muluk-muluk bagiku. Aku ambil pulpen 4 warna favoritku dan menulis “amin” dengan tinta biru pada lembar target itu. Aku masukkan lagi buku catatan itu ke dalam daypack. Tersembul sedikit bagian kertas tiket yang sudah aku cetak. Aku ambil dan aku lihat sekali lagi. Besok aku akan terbang dari Cengkareng pukul 7.20. Lebih baik aku tidur sekarang dan membunuh semua kekhawatiran yang bahkan belum terjadi. Aku menarik selimut.

Smartphone-ku bergetar.
Ya Tuhan, kenapa aku lupa mengaktifkan mode pesawat! Pesan singkat masuk, dari pacarku. “Hei maaf, baru selesai dari lab. Have a safe flight tomorrow. Ganbatte!”

Kalau aku ingin membalas, aku harus merangkai kata-kata, lalu jadi semakin tidak ingin tidur. Aku tekan simbol pesawat dan kembali mencoba tidur. Biasanya aku suka memikirkan kehidupan sembari memejamkan mata. Cara ini selalu berhasil untuk membuatku terlelap. Well, aku jadi kepikiran mengapa aku harus takut dengan orang flores? Sepertinya aku bercermin dari perceraian mamah dan papah.

Mamah lahir di Jakarta, namun tumbuh dan berkembang dalam asuhan tradisi jawa. Mbah Putri dan Mbah Kakung, orang tua mamah, asli orang Banyumas. Bahkan kami memiliki
buku silsilah keluarga Mbah Kakung. Di buku itu tertulis bahwa Mbah Kakung keturunan dari Bupati Banyumas tahun… berapa ya. Intinya kakek kebanggaanku itu berdarah biru, golongan

priyayi. Tak heran kalau mamah sering mengagung-agungkan kaum priyayi (point of view-ku berubah terhadap priyayi setelah membaca Tetralogi Buru karya Pram). Di belahan bumi yang lain, sebut saja Yogyakarta, pada tahun kelahiran mamah, papahku ikut-ikutan lahir. Lain cerita, papah cuma menumpang lahir di sana. Papah tumbuh dan berkembang di Palembang. Tentunya berbalut adat-adat sumatera selatan di mana Sungai Musi mengalir. Kakek dan Nenek asli orang Palembang, namun buyut dari Nenek menikah dengan orang cina. Tak heran berasal darimana mata monolidku ini. Sejauh yang aku bisa ingat, mamah dan papah memang tidak pernah cocok. Mamah sama sekali tidak kuat mencium aroma masakan ikan, padahal

itu makanan favorit papah! Mamah selalu bicara lemah lembut, sedangkan papah berbicara lantang dan tegas. Perbedaan cara bicara ini seringkali berujung cekcok karena papah dikira memarahi mamah. Mamah sering sekali berkata iya, namun sering juga tidak melakukan apa yang di-iya-kan. Papah sering sekali jujur dan sering juga jujur pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Kalau tidak segera bercerai, mereka bisa saling membunuh batin masing-masing. Syukurlah mereka bercerai saat aku berumur 5 tahun. Perbedaan adat istiadat ditambah gelombang egosentris yang menggulung-gulung memang tidak pernah berakhir baik.

Tok tok tok. “Mbak Merry, udah tidur belum? Mbak. Aku masuk ya.” Terdengar pintu dibuka perlahan dan suara langkah adikku masuk, langsung menghamburkan dirinya ke atas kasur. Kalau sudah memaksa begini, dia pasti ingin curhat panjang kali lebar kali tinggi. Au revoir dormir!

“Mbak, masa ya Andika tuh maunya warna ijo, biar katanya terkesan natural dan membawa suasana santai. Mamah kan nggak suka ijo, aku harus gimana nih? Bilang apa ke Andika?” Adikku memulai ocehannya. Aku hanya menimpali malas-malasan sambil bergumam-gumam agar dikira sudah tertidur lelap. “Woy, Mbak Merry. Aku tahu mbak belom tidur. Nggak usah pura-pura deh. Baju nikahanku nanti pas resepsi jadinya warna apa nih?” Aku membuka mata, cahaya merah jambu dari lampu tidur masih menghiasi kamar, dan aku melirik kepadanya. “Ya kamu nanya nggak ada objeknya. Main bilang warna ijo, natural, mamah nggak suka. Mana aku tahu.” Aku duduk dan bersandar pada dinding, menghadap adikku yang wajahnya seperti baju yang dicuci dengan mesin cuci. “Tiap hari aku jalan ke kantor, ketemu macem-macem orang. Semuanya pada pake baju, tentu saja. Kita ambil contoh gampang ya, jas hitam. Kita bayangin laki-laki memakai jas hitam. Menurutmu kalau ada laki-laki berumur 35 tahun menggunakan jas hitam, berdasi, bercelana bahan hitam, sepatu pantofel, sedang berjalan di trotoar sudirman, kira-kira pekerjaannya apa ya?” Sontak dia menjawab, “kerja kantoran lah, eksekutif kali atau manager, pokoknya yang sering meeting penting. Ini apa sih hubungannya?” Adikku ini memang tidak penyabar. “Well, tiap masuk Gedung Mayapada, orang yang belum punya ID Card pasti akan menukarkan KTP atau SIM ke resepsionis agar punya kartu akses ke lantai atas. Udah bisa nebak kan baju yang dipake sama si resepsionis?”

“Jas hitam…”

“Exactement! My point is, seragam itu hanya untuk memberi label. Label itu dibentuk berdasarkan persamaan persepsi. Oh ini nih yang lagi nikah. Oh ini nih keluarga yang nikah. Oh ini nih bridesmaidnya. Coba pikir lagi deh, sepenting itu kah label dalam acara resepsi? Masa tamunya nggak tahu mantennya yang mana hahaha. Ya kamu pasti bisa lah jelasin hal ini ke Andika. Boleh copy paste ceritaku, tapi kamu pasti punya analogi yang lebih baik. Udah sana tidur. Besok aja mikir lagi, pasti otaknya juga udah nggak ada kan sekarang.”

“Thanks ya Mbak”
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan, dia berjalan keluar kamar. Pernikahan itu

sulit sekali ya. Bahkan dari persiapan pernikahan pun sudah seperti benang kusut. Nia, adikku, baru kenal Andika 3 bulan belakangan dan tiba-tiba saja Andika dan Keluarga ke rumah kami. Sebelumnya, Nia sudah cerita kalau Andika ini memang ingin segera menikah. Selama ini, dia sudah mencari perempuan yang mau dinikahi, tetapi tidak ada yang mau. Nia lah perempuan ke 28 yang akhirnya mau diajak menikah.

Aku duduk di meja belajar, menyalakan lampu, dan mulai menggoreskan spidol pada kertas buram.

Begini, jadi ada dua tipe pernikahan, tentunya versi Merry Andani 2020. Tak lupa aku menuliskan tanggal pada sisi kanan atas kertas buram. Ini berdasarkan 26 tahun perjalanan hidup si Merry. Pertama, ada orang yang menikah karena memang ingin hidup bersama sang pujaan hati. Merasa sudah saling cocok dan ingin berbagi dalam suka dan duka, ingin punya anak juga tentunya, maka menikahlah mereka. Kedua, ada orang yang menikah karena ingin menikah. Tidak peduli pasangannya siapa, yang penting menikah, punya anak, menjalankan sunah rasul dan jauh dari maksiat. Jauh juga dari pertanyaan “kapan nikah?”. Ibarat kucing, yang penting kawin! Versi kedua ini lah si Andika, laki-laki lajang berumur
31 tahun. Menurutku ini konyol, tetapi melihat Nia bahagia aku urungkan niatku untuk mengolok-oloknya. Nia Andini tetap lah seorang adik kecil yang aku punya sejak tahun 1996.

Hidup cepat sekali berlalu. Benarkah ungkapan ini?

Aku selalu mendengarkan Podcast TED Talks selama perjalanan ke kantor yang membosankan. Pagi tadi aku mendengarkan topik Shift Time. Bayangkan kita berada di sebuah pantai, ada
laut dan ada pasir. Diantara laut dan pasir kita seperti melihat batas garis, yang sebenarnya hanya ilusi optik. Tidak ada garis di antara laut dan pasir. Garis ilusi itu menggambarkan masa sekarang. Jika kita bicara waktu, pasti untuk sesuatu yang telah terjadi atau sesuatu yang akan terjadi. Aku berikan beberapa contoh. Aku merayakan tahun baru di Ancol. Tahun baru merujuk pada masa lalu, 1 Januari 2020. Aku akan menghadiri pernikahan Nia dan Andika bulan depan. Bulan depan merujuk pada masa depan, 23 Febuari 2020. Aku akan tidur sekarang. Sekarang merujuk pada ilusi, karena sekiranya aku butuh 30 detik in the literally near future untuk mematikan lampu belajar, pindah ke kasur, menarik selimut, dan memejamkan mata. Jika kita merasa hidup berlalu begitu cepat, dan rasanya ingin mengulang momen indah di masa lalu, berarti kamu hidup di masa lalu. Kamu tidak hidup di masa sekarang dan bahkan kamu tidak memikirkan masih ada masa depan yang penuh misteri! Biarkan hidup berlalu, nikmati setiap prosesnya, dan buatlah rencana untuk masa depanmu. Satu yang aku tahu pasti untuk masa depanku. Aku tidak akan menikah dengan pacarku!

KENAPA?

B U A T A P A P A C A R A N K A L A U T I D AK M A U M E N I K A H?

Pleas stop thinking like an oldschool people. Nggak salah kan kalau aku tidak ingin menikah? Toh itu kan juga sunah. Bukan berarti apa yang orang-orang lakukan, harus aku lakukan juga kan? I need M A N Y friends. Well, many quality friends. Aku sangat suka berdiskusi. Berdiskusi membuat kita memahami cara berfikir orang lain. Menikah? Hidup dengan satu laki-laki saja? Membatasi ruang gerak perempuan untuk berdiskusi dengan teman-teman lain? That is not a happiness for me. And I choose a happiness.

Aku memeluk guling, terpejam, dan aku rasa aku mulai memasuki alam mimpi.

 

 

AW atau WN
23 Januari 2020
Pada malam-malam dengan suhu 16 derajat pendingin ruangan Sebuah hadiah untuknya yang pernah ada di part “healing”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *