Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Suatu Sore di Stasiun Kota

Kreta ekonomi.jpg
Kreta Ekonomi oleh A.Surya Dwipa Irsyam

Nama saya Surya, seorang duda di usia 30-an. Ratmini meninggalkan saya demi seorang pejabat tinggi yang berdompet tebal. Saya tercatat sebagai salah seorang karyawan dari daerah pinggiran yang mengadu nasib di Ibu Kota. Sayangnya, nama Surya tidak mampu membuat saya tegar bak Dewa Matahari dalam menjalani hidup ini. Sekarang pukul empat sore kurang tujuh belas menit. Entah mengapa hari ini sangat terasa letih. Rasa penat menyeruak dari dalam tempurung kepala. Peluh pun mulai membasahi kemeja yang pagi tadi dibuat kaku oleh kanji. Saya berkali-kali menatap jam yang bertengger di pergelangan tangan dengan cemas. Ah… rupanya sang waktu masih memberikan kesempatan kepada saya untuk mengejar jadwal kereta api sore ini. Di hadapan saya, stasiun Kota Tua berdiri dengan megah, seakan melambaikan tangan gemulai agar saya segera memasukinya.

Sebenarnya saya sudah beberapa kali ke stasiun peninggalan Kolonial Belanda ini, namun baru hari ini saya menyadari keindahannya. Kecantikan yang luar biasa. Saya serasa menginjakkan kaki di Oud Batavia, dengan stasiunnya yang megah di kala itu. Stasiun ini juga dikenal sebagai Stasiun Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij) atau Maskapai Kereta Api Batavia Timur. Dulu stasiun ini menghubungkan Batavia dengan beberapa kota lain, seperti Baccasi, Buitenzorg, Bandoeng, Karavam, dan Bantam. Stasiun yang dibangun pada tahun 1870 tersebut saya akui memang sangat mengagumkan. Bagai dipahat dengan sempurna oleh sang maestro. Bagian utama dari stasiun ini masih terlihat jelas, seperti lengkungan logam pada bagian atap, pagar besi di sepanjang lobby tempat calon penumpang menunggu datangnya kereta, jam kuno, dan beberapa ornamen khas art deco lainnya. Rancangan F.J.L. Ghijsels ini mampu membuat saya berdecak kagum selama beberapa menit, membuat orang-orang berpikir bahwa saya tak ubahnya seorang udik yang penuh dengan keingintahuan. Saya sempat membayangkan bagian atapnya masih dihiasi oleh kaca mozaik berwarna-warni, dengan lantai yang berlapiskan ubin cantik dengan paduan warna merah, gading, atau warna indah lainnya. Tentu saja, lengkap dengan noni-noni belanda bergaun sutera cantik yang hilir mudik di sekitar peron. Payung putih berhiaskan renda pun turut menghiasi tangan cantik mereka.

Saya serasa berpijak di ruang waktu. Tak lupa pula saya membayangkan beberapa sosok anak kecil belanda yang berlarian serta sosok-sosok kaku berdiri tegap penuh keangkuhan, berambut klimis, berkumis tebal dengan cerutu di antara bibirnya. Ah… indahnya, meski saya menyadari bahwa kaum pribumi mungkin tidak layak terlihat berdampingan dengan mereka saat itu. Terima kasih Tuhan, hari ini tahun 2012. Enam puluh tujuh tahun setelah bangsa pribumi berhasil merebut kembali tanah airnya. Jiwa raganya. Sehingga saya masih dapat berdiri terpaku di tempat ini.

Lamunan saya buyar saat sekelompok pemulung jalanan datang dari arah yang berlawanan. Terlihat jelas oleh kedua mata saya, seorang wanita paruh baya berkulit hitam akibat paparan Sang Surya. Rambutnya pendek tipis, berbaju lusuh bersama keempat orang anak berusia sekolah dasar yang terlihat sangat bahagia. Anak-anak tersebut memanggilnya “Emak”. Sosok “emak” tertawa lepas. Di wajahnya tak tersirat kepedihan. Ia tertawa terbahak-bahak di pinggir peron, diiringi oleh canda tawa anak-anak. Badannya yang tampak letih masih berusaha mengais sampah plastik yang kiranya dapat dijangkau oleh tangan untuk dibawa pulang. Sekedar untuk ditukarkan dengan beberapa lembar uang ribuan lusuh demi sebungkus nasi aking. Bibirnya tidak terlihat lelah untuk tersenyum. Ah.. andai saja saya juga dapat merasakan kehangatan itu.

Saya hanya mampu membeli tiket kereta untuk kelas ekonomi. Tanpa AC dan penerangan yang memadai. Hanya ada gerbong yang tak begitu besar dengan kaca terbuka. Kereta mulai bergerak perlahan, meninggalkan sepotong kebahagiaan Emak dan keempat anaknya menuju jalan yang gelap dan kumuh. Kereta bergerak tidak mulus, membuat saya harus berpegang pada besi yang terlihat berminyak dan licin. Entahlah sudah berapa milyar sel bakteri yang hidup di permukaannya. Tapi sudahlah..saya berusaha menikmati perjalanan petang ini. Para penjaja makanan ringan, minuman bersoda dingin, koran sisa tadi pagi yang tak habis dijual, pengemis, penjual peniti, kelontongan, hingga tambalan panci membuat suasana menjadi kian ricuh. Tak lupa lagu dangdut turut menemani perjalanan ini, dibawakan oleh seorang biduanita buta bersuara surga. Mungkin saja semasa kecil ia bercita-cita menjadi seorang penyanyi dangdut populer papan atas, meski dalam kenyataan hidup berakhir sebagai penyanyi gerbong kereta kelas ekonomi. Sementara itu, seorang wanita muda berdempul putih dan bergincu merah berdiri cemas di pojok gerbong, entah apa yang ia cemaskan. Saya tidak peduli.

Perjalanan semakin membosankan. Waktu tempuh selama satu jam terasa seperti perjalanan satu dekade. Bau keringat menggelitik hidung dan rinai hujan mulai membasahi pertiwi. Jendela tak dapat ditutup, maklum hanya kelas ekonomi. Tetesan air hujan bergemericik di tepi jendela. Saya harus menikmati perjalanan ini. Jauh di ujung rel di sana setidaknya masih ada asa yang tersisa.

 

Serpong, 28 Desember 2012.

A. Surya Dwipa Irsyam

 

3 thoughts on “Suatu Sore di Stasiun Kota

  1. sukak dengan cerpen ini. Gambaran suasana di tahun 2012 nya juga berasa banget, jadi kangen suasana kereta ekonomi dengan seluruh tetek bengeknya ;p….BRAVO!

Leave a Reply to maknakata Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *