Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Spasi yang tak berujung

“Apa yang kau pikirkan Jingga?”

“Tak ada Vio. Aku tak memikitkan apa-apa.” sanggah Jingga

“Aku pamit kalau gitu. Aku rasa kamu butuh waktu sendiri.”

Vio berlalu pergi ditemani rinai hujan sore ini.

Aku dan Vio memang berteman sudah cukup lama. Tapi, masih saja ada enggan yang terselip dalam hati untuk mengatakan aku sedang tidak baik-baik saja.

Aku sedang ingin menangis sejadi-jadinya.

Aku ingin berteriak sekencang kencangnya.

Berteriak bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

Bahwa aku teramat kesal dengan perlakuan yang tak adil yang aku dapatkan.

Bahwa aku teramat patah hati menerima kenyataan, aku terlalu naif untuk terus menerus memaafkan.

Aku sudah lama mengendus ada yang tidak beres dengan sikap mu padaku.

Sikap yang seharusnya tak pernah ada dalam kamus mu sebagai orang yang aku kagumi.

Ah sudahlah itu urusanmu dengan dia.

Toh kalaupun kita bersama sekarang ujungnya kita pisah juga.

Spasi ini tak akan pernah berujung.

Semakin lama semakin meregang.

Kita teramat berbeda dalam banyak hal.

Termasuk dalam hal kita memandang Tuhan.

Jadi biar saja ku patahkan hati sebelum kita terpaut lebih jauh.

Biarkan bumi menangis dengan keras kemudian cepat tandas.

Biar ia berlinang air mata, kemudian akan reda pada waktunya.

Senja, hujan, dan riuh gemuruh awan di langit.

Layaknya riuh dalam dadaku dan tangis dimataku berteman senja nan kelabu.

Karya: Eneng Nunuz Rohmatullayaly

Ig: @kelanakucom

Bagian cerita “Masih di Kota Hujan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *