Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Selamat Jalan Bintang Jatuh

IMG_20170228_140050
Setapak Jalan Berkabut (WN)

Hujan membuatku malas untuk bangkit dari kasur. Walaupun hanya kasur busa murahan, kasur ini selalu membuatku, khususnya tulang punggungku, merasa nyaman. Tulang punggungku memikul beban tas yang terlalu berat untuk seorang mahasiswa pasca sarjana. Jika ada razia tas di kampus, petugas razia pasti enggan untuk membongkar isi tas milikku. Terlalu banyak isinya! Mari kita identifikasi satu per satu. Pertama, kamu akan menemukan laptop 14 inci. Kedua, charger laptop jadul dengan adaptor sebesar batu bata. Ketiga, botol minum 1,5 liter. Keempat, payung lipat. Kelima, buku catatan dan alat tulis lengkap. Keenam, bekal untuk makan siang. Semua beban ini dibawa tulang punggungku dengan berjalan kaki kurang lebih satu jam sehari. Jika bisa menangis, tulang punggungku akan menangis seperti perempuan hamil di luar nikah yang baru saja ditinggal kabur pacarnya. Jangan tersindir.

Benda pertama yang kucari setelah bangun tidur adalah ponsel pintar. Ponsel pintar ini pemberian dari pacarku saat aku berulang tahun ke 26. Biasanya aku akan mematikan alarm ponsel ini yang membangunkan orang tidur secara tidak sopan pukul 4.30 pagi. Hari ini tidak biasa karena alarm sengaja diatur untuk tidak berbunyi pada hari minggu. Aku tekan tombol kunci dengan ibu jari. Banyak sekali notifikasi pesan singkat dan surel yang masuk. Aku belum ingin mengeceknya. Jam digital pada ponsel pintar menunjukkan pukul 8.34. Aku sedikit terkejut karena aku kira masih pukul setengah 6 pagi. Sudah berapa lama hujan berlangsung? Aku mulai bangkit dari kasur dan menyibakkan tirai jendela. Langit sangat gelap dan hujan turun sangat deras. Matahari pun tidak menampakkan sinarnya. Tidak ada tanda-tanda pula bahwa hujan akan segera reda. Selamat Orion Astagina! Pakaian dan sepatumu tidak akan kering lagi hari ini. Kuhempaskan kembali tubuhku ke kasur.

Tiba-tiba aku mendengar Bruno Mars menyanyikan bagian reff dari lagu Versace on the Floor. Oh ternyata nada dering ponselku. Sebuah panggilan masuk. Tertulis “Abhinaya” pada layar ponsel dan terpampang foto pacarku sedang memegang kertas bertuliskan “I love Gina!” di depan Menara Eiffel. Hal yang paling aku suka dari Abhi yaitu dia sangat tergila-gila padaku. Hal yang paling aku benci dari Abhi adalah cara dia memamerkan kegilaannya itu pada dunia. “Halo Gin! Udah bangun? Jadi kan kondangan jam 11? Aku udah ngelewatin gerbang komplek kamu nih. Kamu udah siap kan?” Mataku yang sedari tadi baru terbuka setengah sontak terbelalak. “Abhiiiiiii. Aku masih dandan. Nggak bisa sambil nelfon. Nanti alis aku miring sebelah. Nanti langsung masuk rumah aja ya, Bhi. Kunci di tempat biasa. Love you.” Aku langsung mencari baju pesta, memakainya, membongkar koper make up, dandan secepatnya, memanaskan pengkriting rambut, membuat beach wave ala kadarnya. Ah! Lupa ganti daleman! Buka baju pesta, ambil daleman baru dari lemari, pakai daleman, pakai baju pesta, betulin make up, rapihin rambut, semprot hair spray, pakai sepatu, semprot parfum, bel rumah berbunyi. “Masuk aja, Bhi!” Semoga Abhi mendengar teriakanku dari kamar. Pakai anting, kalung, dan gelang. Ambil tas pesta, memasukkan uang, lipstick, bedak, dan kipas. Ambil amplop dari meja belajar. Keluar kamar. Abhi sudah duduk di ruang tamu, “You must be more more more beautiful than the bride, Gin.”

Aku selalu senang jika diajak pergi ke kondangan karena aku suka berdandan dan memakai baju bagus. Menurutku, kondangan satu-satunya kesempatanku. Mengingat aku masih mahasiswa, dimana teman-temanku tidak banyak yang berdandan, apalagi menggunakan pakaian modis ke kampus. Jadi, hanya saat kondangan aku bisa tampil cantik. Dengan make up sudah terpasang dan memakai baju yang membuatku sulit bergerak, aku tidak mungkin pergi menggunakan motor apalagi angkot. Lagi pula hujan masih cukup deras, nanti make up akan luntur seperti pakaian murahan yang dibeli di pasar kaget. Abhi rela bermacet-macet ria di Jalan Baru demi aku yang hanya mau ke kondangan jika menggunakan mobil. “Kan bukan salahku, Bhi kalau angkot bertebaran dan berhenti sembarangan. Apalagi lebar jalanan ini cuma cukup untuk dua mobil.” timpalku kalau Abhi sudah ngeledekin aku karena memilih naik mobil padahal sudah telat. Hal kedua yang aku benci dari Abhi kalau dia sudah ngeledekin aku. Hal kedua yang aku suka dari Abhi adalah hanya bersamanya aku bisa melupakan bahwa bumi sedang berputar dan waktu terus berjalan. Abhi bisa membuat semua masalah hidupku menguap tanpa meninggalkan bau busuk sedikitpun.

Jam tangan Abhi menunjukkan pukul 11.39. Parkiran Yasmin Center sudah terlihat penuh. “Yah kita kelewatan prosesi adatnya, Gin.” sesal Abhi. “Hahaha Abhiii kita kan udah sering banget ke kondangan yang make adat jawa. Aku rekam malah beberapa.” Aku cubit pipi Abhi yang sedikit tembam. Untunglah masih terdapat satu slot parkir kosong. Kami segera bergegas menuju pintu masuk gedung. Sudah banyak karangan bunga berjejer seperti menyambut kedatangan kami. Satu karangan bunga yang agak terhalang karangan bunga lain menyita perhatianku. Bukan karena tulisan atau nama pengirim yang unik, melainkan komposisi bunga penyusunnya. Karangan itu hanya terdiri dari dua jenis bunga, mawar putih dan lili putih. “Seperti karangan duka cita.” batinku. Namun karena terburu-buru, aku tak memikirkan karangan itu lagi dan langsung menyusul Abhi yang sudah masuk gedung.

***

Saat kaki kananku melangkah di pintu masuk, aku merasakan bulu kudukku berdiri. Aku hanya diam terpaku di ambang pintu. Aku lemparkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada orang di meja tamu. Buku tamu dan pulpen sudah jatuh ke lantai. Kotak tempat amplop pun dalam keadaan terbalik. Ratusan amplop berhamburan di lantai. Aku merinding. Aku masuk ke dalam gedung dengan mengendap-ngendap. “Praaakk..” ternyata heelsku menginjak pecahan piring. Ratusan piring terpecah belah di lantai. Beberapa meja makan terjatuh. Beragam jenis makanan prasmanan pun tumpah di lantai dan menimbulkan campuran aroma yang tidak sedap. Dari aroma soto bogor sampai maccaroni panggang menyerang sensor olfaktori. Karpet merah pun basah karena semua minuman tumpah ke atasnya. Semua lampion gantung pecah. Bangku pelaminan kosong, hanya tersisa buket bunga yang biasa dipegang oleh pengantin wanita. Abhi pun tidak terlihat. Ada apa ini?! Aku langsung berlari keluar gedung untuk meminta bantuan. Gerimis masih turun dengan tenang. Hening. Tidak ada orang satu pun. Bahkan di jalan raya, semua kendaraan berhenti secara acak di tengah jalan. Seolah-olah pengemudi lenyap saat sedang asik menyetir. Air hujan dan peluh mulai melunturkan make up-ku. Jantungku berdegub kencang. Otakku berputar. Tidak! Aku telah kehabisan otak. Aku harus kemana?

Derap langkah lari terdengar dari balik pos masuk. Sontak aku menoleh. Sesosok pria berlari ke arah Supermarket Giant. Pria tersebut mengenakan setelan jas berwarna abu-abu tua. Mungkinkah salah satu tamu undangan? Perawakannya sedikit gemuk dengan tinggi hampir 2 meter. Rambutnya gondrong sebahu, hitam legam, bergelombang, dan basah. Larinya cukup cepat untuk seorang pria paruh baya. Gerakan larinya sedikit janggal. Aku mengejarnya sampai parkiran depan Giant. “Heels brengsek!” umpatku, sembari kucopot sepatu setinggi 6 cm itu dan aku lanjutkan berlari mengejar pria tadi. Hening. Tidak ada tanda-tanda dari pria itu. Nafasku mulai tidak beraturan. Aku butuh minum. Karena tidak ada orang sama sekali, aku beranikan diri untuk mengambil air mineral dari lemari pendingin Restoran A&W. Langsung aku tenggak air mineral satu botol sedang dalam beberapa detik. “Tenang Gina, tenang. Coba berfikir jernih.” kataku kepada diri sendiri. “Coba bayangin kalo lo jadi bapak-bapak paruh baya yang sedang terancam, lo bakal ngumpet dimana? Think Gina… please” kupejamkan mataku sambil mengingat-ingat mengapa pria tadi sangat janggal saat berlari. Sepertinya dia sedang memegang sesuatu di tangan kirinya. Benda apa yang dipegang oleh pria tadi. Berukuran segenggaman tangan, terdiri dari bagian seperti dompet kulit dan sesuatu berawarna keperakan. Kunci mobil! Aku menunduk dan mulai berjalan pelan menuju parkiran belakang.

***

Wajahku sudah berminyak. Wajahku sudah berminyak! “Gina, coba fokus dulu.” kataku pelan. Sempat-sempatnya aku berkaca pada kaca mobil-mobil. Aku susuri satu persatu mobil yang terparkir, mungkin saja ada orang di dalam mobil. Nihil. Kepalaku sedikit pusing karena terkena gerimis tadi. Mungkin ditambah belum sarapan pula. Aku berjalan keluar Giant, mencoba kembali lagi ke Yasmin Center. Sesuatu menabrakku dari belakang sampai aku tersungkur. Sosok itu, keluar dari semak-semak, berlari memasuki gedung Yasmin Center. Seorang wanita berumur hampir 30, mengenakan dress berwarna merah bata dan sepatu datar. Rambutnya diwarnai brunette. Kulitnya kuning langsat. Aku mencoba mengejarnya. Sayangnya, kaki kananku keseleo. Aku hanya bisa berjalan pelan. Aku jadi teringat dengan karangan bunga misterius tadi. Aku geser karangan bunga besar yang menghalanginya. Tertulis “Selamat Tinggal Bintang Jatuh. AM.” Siapa AM? Selamat tinggal? Aku mengurungkan niat untuk masuk gedung. Aku duduk di anak tangga. Menangis.

Tiba-tiba sebuah mobil Honda HRV melewati pos satpam dengan kecepatan tinggi. Aku langsung berdiri terkejut. Mobil itu parkir di depanku. Pengemudinya adalah bapak paruh baya tadi. Dia nenunjukkan telunjuk kirinya ke arahku. Aku terkejut ketika wanita berambut brunnete tadi muncul dan membawa sebuah kue tart besar, bahkan terlalu besar untuk tangannya yang mungil. Di atas kue tart itu tertulis, “Try me”. Kue tart itu terlihat lezat. Red velvet dengan taburan choco chips di permukaannya membuatku ingin mencicipinya. “Anda siapa? Dan kue apa ini?” Wanita itu hanya tersenyum dan mulai memotong kue menjadi satu potongan kecil. Kuku jemarinya di cat warna merah dan membuat tangannya tampak lebih putih. Terdengar suara pintu belakang mobil terbuka dan Abhi keluar dengan setelan jas putih, membawa kotak kecil berwarna hitam dengan garis emas di tangannya. Intro dri lagu 24k Magic dari Bruno Mars mengudara. Entah sejak kapan terpasang banyak standing speaker di jalan raya. Segera berlarian orang-orang berpakaian putih dari segala penjuru menuju depan gedung dan menari. Abhi melangkah pelan mendekatiku.

“Maaf ya atas pernikahan bohongan dan teror buatan tadi. Semoga kamu nggak marah sama aku, Gin. Aku tahu kita baru pacaran 1 tahun. Tapi, satu tahun ini adalah satu tahun yang indah. Kamu benar-benar telah menjadi orion di langit malamku. Just try me, Gin. Aku ucapkan selamat jalan untuk semua kesedihanmu, biarkan aku mengisi guci harimu dengan bunga-bunga kebahagiaan. Selamat tinggal, bintang jatuh. Karena aku tidak akan membiarkan Orion jatuh ke dalam kesulitan. Aku mau kita bareng-bareng terus. Aku ingin kita hidup bersama, bukan sekedar bersama secara fisik tetapi bersama dalam makna. Orion Astagina, Will you marry me?” dikecupnya tangan gemetarku. Tuhan, ini konyol. Segala hal yang kubenci dari Abhi sirna. Aku berkata, “Yes, I will, Bhi” Air mata menetes dari mata kananku.

~Oh, seems like you’re ready for more, more, more…
Let’s just kiss ’til we’re naked…
Versace on the floor~

Abhi menyematkan cincin emas putih berhiaskan berlian di jari manisku. Aku langsung mencium Abhi. Selagi dia melumat bibirku lembut, aku menekan simbol merah di layar ponsel pintarku. Aku tidak peduli siapa yang menelfon, aku sedang mencium masa depanku.

6 Maret 2017
Kamu kapan dilamar?

(WN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *