Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Secarik Kenangan

jingga
Suatu senja di kaki Gunung Salak

Hampir setiap hari langit menangis disertai rintihan serta teriakan amarah. Tak mengerti marah untuk apa dan pada siapa. Angin bertiup sangat kencang menumbangkan pepohonan bahkan tak jarang menumbangkan mereka para pejalan.

Kota ini serasa mati kala hujan menghampiri, disertai kilatan halilintar yang menari-nari diatas langit kelam tiada henti. Mengerikan. Yah, begitulah adanya kota ini. Selogan Bogor Kota Hujan benar adanya.

Tempo hari, aku pulang dari kampus menggunakan angkot. Aku tak membawa Jago, skuterku hari itu, maklum saja aku tak sanggup jika harus bermain hujan setiap hari. Saat turun dari angkot, aku mendapati jalanan gang menuju rumahku sepi, lampu-lampu jalan dan pelataran rumah para tetangga sudah menyala. Kutengok jam ditangan, masih pukul 5 sore. Namun awan hitam mengisyaratkan hari telah jauh melampaui petang.

***

Hari ini hujan juga kembali menyapa tepat ketika adzan subuh berkumandang. Ayam Jago malah absen untuk berkokok. Mungkin, meringkuk didalam kandang lebih menyenangkan baginya. Sepertiku yang enggan melangkah dari peraduan.

Kebetulan hari ini Sabtu, kupilih untuk berdiam diri di rumah, santailah sejenak. Ku lirik kertas-kertas kecil yang menempel di meja belajarku, tumpukan tugas ternyata telah mengantri menunggu giliran untuk dituntaskan.

“Oh Tuhan, ini rentetan tugas udah macem gerbong commuter line. Panjang bener.”

Bagi mahasiswa semester 3 yang setiap harinya di bombardir tugas, presentasi, dan persiapan penelitian tesis hari libur tampaknya tak ada dalam kamus ku. Tugas, tugas, dan tugas.

“Baiklah, mari kita mengerjakan tugas”

***

Secangkir coklat panas dan beberapa camilan telah tertata manis disamping meja belajarku. Barang kali aku lapar ketika mengerjakan tugas, tak usah repot-repot beranjak meninggalkan kursi singgasana untuk ke dapur. Amunisi siap, mari kita selesaikan tugas.

“Sejujurnya, raungan kasur yang empuk dan selimut lebih menggiurkan dari apapun saat ini kawan.”

Satu jam berlalu, dua jam berlalu, tiga jam terlampaui sudah. Hanya ada satu paragraf yang tertera dalam lembar Microsoft word di layar leptopku. Tak kunjung berkembang menjadi paragraf-paragraf hingga menjadi tulisan yang utuh. Aku mulai kelelahan. Coklat panas sudah berubah menjadi dingin, camilan pun sudah setengahnya berpindah tempat ke lambungku.

Ku putar arah pandangku pada jendela-jendela yang persis berada disamping meja belajarku. Ternyata hujan sudah sedikit mereda, tinggal menyisakan gerimis-gerimis kecil yang rupanya tidak habis-habis.

Lama aku memandang keluar jendela.

“Benar kata orang, hujan adalah mesin pemutar kenangan.” Ungkapku dalam hati

****

“Oke kita bakalan diriin tenda disini nih. Tanahnya datar, pemandangannya juga bagus” Rendra memberi titah

“Siap Bro.” jawab ku

“Eh tapi ga ada sumber air nih Ren?”

“Gampang, dibawah ada pipa bocor. Kita nampung aja ntar”

Muatan tenda dalam tas segera kami bongkar. Satu persatu frame kami tautkan pada tenda dan covernya. Baru juga dua tenda berdiri, badai tiba-tiba menyerang.

“Ayo cepat masuk tenda, jangan lupa barang-barangnya dimasukan.”

Aku langsung beringsutan ke dalam tenda dengan tas carriel yang super duper berat.

Tas kutaruh bertumpuk bersama tas teman-teman yang lain. Kami semua segera bergegas menyelamatkan semua barang-barang yang masih tercecer diluar tenda.

“Ini kompor siapa?”

Sebuah teriakan terdengar dari balik tenda. Aku mengeluarkan separuh tubuhku untuk memastikan rupa kompor tersebut.

“Oalah, kompor kita Ren, masih ketinggalan diluar ternyata.” sambil keluar tenda ku raih kompor tersebut.

Thank you ya” ucapku pada Rendra

Kompor berhasil diselamatkan. Aman pikirku. Bisa lah kita masak ditenda. Tapi masalah kembali datang. Kami tak punya air untuk memasak.

“Buset dah, gue lupa. Airnya pan ga ada yak?” Gita menyadarkan kealpaan kami

“Buat minum aja ga ada apa lagi buat masak ini. Mana ujan alamat lama lagi” tambah Ria yang sudah mulai frustasi karena lapar tingkat tinggi.

“Nampung air hujan aja yuk. Mau ga?”

Tanpa jawaban, mereka langsung membuka payung dan membaliknya.

“Lumayan daya tampung lebih banyak daripada nesting1 lu Ingga.”

Hujan tak kunjung berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Namun, kilat sudah tak menampakan batang hidungnya. Dan kami masih menanti payung kami terisi.

Camilan satu persatu keluar dari tas masing-masing.

“Gile seret nih gue. Bagi air dong.”

“Mana ada air. Udah lu minum air hujan aja noh. Kayaknya udah ada dipayung.”

Tanpa pikir panjang kuambil air hujan dalam penampungan. Ku teguk dengan sedikit beringas, karena sungguh haus. Kalian tahu rasa air hujan itu seperti apa?

“Ih ini air aneh banget deh, berasa minum air dari keran berkarat gue, bedanya ada asam-asamnya. Aneh deh pokonya.”

Nah seperti itu rasanya, air yang langsung turun dari langit.

****

Badai akhirnya  berlalu, sore menjelang dengan langit berwarna jingga.

“Lihat langit berwarna jingga bareng Jingga, indahnya dua kali lipat ya?” tiba-tiba seseorang berbisik disampingku.

“Hooo, iya ya” jawabku dengan gugup ketika aku menyadari seseorang itu Rendra.

“Terus aja fotoin langitnya, ga mau motion gue nih?” canda Rendra

“Boleh, berdiri lah di sana, biar gue foto.”

Rendra mengambil posisi. Aku berusaha mengatur angle yang tepat agar foto yang dihasilkan bagus.

“Sini liat hasilnya. Gini bukan yang lu mau?”

“Oke sih, lumayan-lumayan. Sebenernya yang gue mau gini.”

Dia tiba-tiba mengangkat HPnya. Kamera depan sudah siap menangkap wajah kami dan senja kala itu. Cekkrek

“Nah, ini nih baru bagus, jingganya dobel. haha”

“Sumpah, lu jail. Ekspresi gue pasti aneh banget tuh”

***

Dewi siang bergantian tugas dengan Dewi malam. Menyaksikannya dalam bingkai langit yang sama adalah cara menutup hari dengan menyenangkan.

“…sampaikanlah pada bapakku, aku pulang terlambat waktu, ku akan menaklukan malam, dengan jalan fikiranku…” sepenggal lirik Ost. Film GIE tiba-tiba saja terlintas dalam benakku.

Efek bulan yang indah, dan langit berangsur-angsur cerah sepertinya.

Bintang yang awalnya bersinar malu-malu, kemudian menjelma menjadi sosok yang tak tahu malu.

***

“Jingga….Jingga…tok..tok…tok..”

ternyata ada yang mengetuk pintu kamar ku, aku tersadar dari lamunan.

Ku buka pintu kamarku, dan tersembullah wajah Ibu di sana.

“Violet ada didepan tuh, katanya ada perlu, dia basah kuyup, makanya ga mau masuk, bawakan handuk buat dia.”

“Baik bu.” ku jawab sambil berlalu mencari handuk dalam lemariku.

“Tumben Vio ke rumah ga ngasih kabar dulu.”

Saat mencari handuk, tiba-tiba ada benda jatuh dari atas lemari, sebuah foto seseorang dimasa lalu. Ku taruh kembali foto itu, tapi bukan diatas lemari, melainkan dimeja belajarku.

“Violet, ini handuk buat lu. Ngapain lagi lu hujan-hujan main ke rumah. Tumben juga ga ngabarin dulu.” sambil kulempar handuk itu ke wajahnya tanpa ku lihat terlebih dahulu.

Alangkah kagetnya aku ketika yang kulihat bukan Violet. Tapi Dia, orang yang ada di foto yang terjatuh tadi. Dia yang menjadi secarik kenangan dihidupku, dia yang meninggalkan pertanyaan yang tak pernah ke temukan jawabnya.

“Hai Jingga.”

“Hai”

Dan secarik kenangan itu kembali.

1Sejenis alat untuk memasak nasi, sayur, atau lauk ketika berkegiatan dialam bebas.

(Cerita ini adalah bagian ketiga dari “Cerita di Kota hujan” Karya Eneng Nunuz Rohmatullayaly, Ig: @kelanakucom)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *