Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Saudaraku, Kecewaku

IMG_20160701_063423
“Harapan Kehidupan”, Photo by: Winarti Nurhayu

Jika ada hati yang terbuat dari besi, aku benar-benar ingin membelinya. Aku rela berhutang seumur hidupku demi menjadi wanita tangguh. Jangan tanya apa rasanya menjadi wanita tidak tangguh. Hatiku yang sekarang sudah hancur. Mungkin hanya tersisa beberapa keping sebesar uang receh. Hatiku hancur akibat rasa kecewa pada saudaraku sendiri. Jangan pernah salahkan aku mengapa aku benci ramah tamah. Buat apa berbaik-baik di depan namun setelah kamu kenal lama dengannya malah saling membunuh hati? Keping receh hatiku tidak bisa lagi membuatku menjadi orang ramah. Aku, Fuschia, telah berhenti menjadi orang ramah. Jika aku butuh sesuatu aku akan bilang. Jika kamu bertanya sesuatu akan kujawab dengan sepenuh hati. Tapi jika kamu tidak melakukan apa-apa, aku akan pergi. Sesederhana itu lah kehidupan sosialku.

“Jika ada hati yang terbuat dari besi, aku benar-benar ingin membelinya. Aku rela berhutang seumur hidupku demi menjadi wanita tangguh.”

Kecewa adalah rasa yang muncul disaat apa yang kita harapkan itu tidak ada. Kecewa juga muncul karena kita berharap terlalu banyak pada manusia. Aku sering berharap kucingku bermanja-manja denganku. Namun rasa kecewa tidak muncul saat dia hanya memunggungiku setelah aku beri makan. Aku tetap sayang walaupun dia sangat galak. Aku sayang kucingku apa adanya. Berarti rasa kecewa muncul ketika aku berharap pada manusia kan? Saudaraku memutuskan harapanku. Aku lelah berharap karena telah banyak saudaraku yang mengecewakanku hanya karena aku muslim yang tidak menutup aurat. Aku dianggap tidak beragama, bukan muslim yang taat. Tak banyak orang tahu bahwa setiap ramadhan aku khatam Al-Qur’an sejak tahun 2005. Sekarang 2016. Hitung sendiri ya berapa kali aku khatam di bulan ramadhan? Belum lagi yang di luar bulan ramadhan. Setidaknya aku akan khatam setahun 2 kali. Saudaraku tak tahu kalau hobiku baca Al-Qur’an setiap pagi dan petang. Mereka langsung mengecap dari penampilanku saja tanpa ingin mengenalku lebih jauh.

Semua ajaran agama itu baik. Apapun agamanya. Setiap ajarannya mengajarkan kebaikan. Namun sayang, tidak membuat umatnya berperilaku baik. Mereka terlalu kaku dengan aturan dan buta karena hukuman dari aturan itu. Jika aku hanya menumpang sholat di kamar laki-laki bukan muhrim dalam keadaan pintu kamar di buka lebar-lebar apakah aku berbuat macam-macam? Apakah aku perlu dibentak? Apakah harus sampai aku sholat dalam keadaan gemetar karena terkejut? Aku rasa percuma jika hijabmu sempurna namun kamu menyakiti perasaan saudaramu. Hablum minallah hablum minannas bukan?

Berkali-kali orang menyarankan aku menggunakan jilbab. Aku menolak halus. Aku memang muslim yang tidak taat-taat amat. Toh jika aku tidak bisa masuk surga karena rambut indahku masih bisa dinikmati mata para lelaki ya sudah. Memangnya kalian yang menentukan aku masuk neraka? Banyak saudara yang tidak mau mengobrol denganku hanya karena aku membuka aurat rambutku. Puncaknya, saudaraku sampai memaksaku dan ibuku menggunakan jilbab dalam acara pernikahan dengan alasan agar “kompak”. Agar bagus saat di foto. Blah! Kalian mau tidak jika saat pernikahanku nanti kalian harus membuka jilbab kalian karena tidak sepadan saat difoto! Mana toleransimu kepada saudaramu sendiri!? Tidak kah cukup aku dan ibuku tidak diajak mengobrol saat kita kumpul sebagai keluarga? Tidak perlu repot-repot mengundang kami kalau begitu!

Aku benci ketika orang salah menilaiku. Kenapa sih orang-orang sibuk berprasangka buruk? Saudaraku menuduhku macam-macam karena aku lupa bilang jika aku pergi ke luar kota dengan pacarku. Memangnya kamu bertanya aku pergi naik apa? Tidak! Memangnya kamu bertanya aku pergi bersama siapa saja? Tidak! Tidak! Kamu, saudaraku, main menudingku aku pergi berdua saja keluar kota. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu setiap resiko dari semua langkah kakiku. Aku juga tahu setiap efisiensi dari jalan yang kutapakki. Setidaknya aku masih menjalankan kewajibanku sebagai muslim. Dan yang lebih penting lagi, aku tidak pernah merepotkan orang lain! Aku melakukan semuanya dengan usahaku sendiri. Keringatku sendiri. Saudaraku, kamu saja sholat masih bolong-bolong. Bahkan kamu berhenti memberikan keluargamu nafkah. Kamu tidak peduli dengan keluargamu. Lalu, daripada sibuk menuding, mengapa kamu tidak berusaha untuk memenuhi kewajibanmu?

“Tidak kah cukup aku dan ibuku tidak diajak mengobrol saat kita kumpul sebagai keluarga? Tidak perlu repot-repot mengundang kami kalau begitu!”

Tuhan, aku sangat percaya kehadiran-Mu sebagai keajaiban dalam hidupku. Aku masih memeluk Islam karena Engkau selalu hadir saat aku susah. Engkau selalu menolongku walaupun aku tidak memakai jilbab. Jangan sampai kekecewaanku kepada saudaraku menjadikan aku benci terhadap ajaran-Mu. Aku mohon. Menurutku mereka sudah keterlaluan. Mereka menjadikan ajaran-Mu menjadi ajaran yang menyeramkan. Padahal mereka hanya diwajibkan untuk mengingatkan.

Aku, Fuschia, merasa dizalimi dengan saudaraku sendiri. Kecewa. Tidak peduli lagi.

(Oleh: Winati Nurhayu; 4 Juli 2016 – 17.49 Tangerang Selatan; Ig: @ayuwinati)

Semoga bulan ramadhan yang telah pergi  akan menyapa kita lagi tahun depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *