Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Nocturnal Purnama (Part 2)

Screenshot_20200119-195426_Samsung Notes

Aku rasa ini satu-satunya kesempatanku untuk membunuhnya.

Sepotong suara bergema di otakku. Suaranya mirip dengan suaraku. Atau sebut saja itu memang suaraku. Tidak! Tidak sekarang! Lagi pula dia kan istriku. Istri yang sudah aku nikahi selama 8 tahun. Istri yang selalu ada saat aku susah dan berduka. Saat kami berduka.

“Pah, lebih baik kita terobos saja hutan sawit ini dengan motor sampai lokasi bekas tambang timah. I have a plan. Trust me, okay?” Dia mencengkram kencang lengan kananku. Pada saat yang sama, keringat mengalir keluar dari tubuhku. Satu keringat seukuran bulir jagung melewati pelipis mata kiriku. Aku usap sebelum membuat mataku perih. “Revolvermu sudah terisi, kan?” Dia mengangguk mantap dan menunjuk ke arah selatan. Aku arahkan motor kesana menerobos rerumputan yang sudah mulai meninggi. Truk tidak bisa mengikuti kami ke dalam kebun ini, lain cerita kalau begal.

Hanya sinar lampu motor yang menemani kami kali ini. Sinar purnama tidak cukup banyak untuk menembus daun-daun sawit. Melihat ke arloji, kami sudah berkendara selama 94 menit dan menemukan jalan raya lain. Tentu kami tidak akan menyusuri jalan raya dan langsung memilih untuk menerobos ke padang rumput, tetap mengarah ke selatan. Setelah melewati padang rumput, ternyata air laut sedang pasang. Seharusnya kami bisa melewati jalan setapak ditepi tebing ini. Namun jalan setapak itu sudah terendam air laut, motor tak mungkin bisa lewat. Terlalu berbahaya. Aku pun dapat melihat pantulan purnama pada permukaan air laut yang tampak hitam pekat itu. Seandainya tidak sedang dikejar-kejar, aku ingin duduk, merokok, dan minum kopi hitam tanpa gula. Menikmati pemandangan indah ini.

“Ayo turun, lipat celanamu setinggi mungkin.” katanya seraya menepuk bahuku dan turun dari motor. Aku melepas helm dan menggantungnya pada spion kanan. Aku pun melepas celanaku dan hanya celana pendek yang menutupi bagian bawah badanku. Dia melihatku heran. “Hahaha dasar manusia tanpa resiko. Kalau aku pakai celana dalam doang, nanti kita ditangkap polisi nggak ya?” Berkacak pinggang, matanya berbinar, dan lidahnya menjulur keluar meledekku. Menggemaskan sekali. “Lah ya nggak apa-apa. Biar nambah masalah nanti kalau ketangkep, seneng juga kan kamu?” aku belai rambutnya dan aku cium pelipis kanannya. Kemudian kami berlari ke arah air laut pasang, memecah bayangan sang purnama. Meresapi dinginnya air laut, dalam tenang.

Setelah menyeberangi air laut pasang, kami pun tiba di bekas tambang timah. Malam hari pun, aku masih bisa merasakan eksotisme dari tempat ini. Tebing batu kecoklatan menjulang tinggi, bertekstur tajam dan kasar. Tepat di tengah kawasan, bersemayam danau tanpa riak, dan lagi-lagi purnama terpantulkan sempurna di sana. Purnama memang menandakan waktu yang tepat untuk melakukan perubahan. Menyapu pandangan, aku yakin tidak ada satu orang pun di sini. Kami berlari ke arah terowongan dan bersembunyi. Tidak terbayang olehku para pekerja tambang dulu sudah bisa membuka terowongan sebesar ini, dengan tangan mereka sendiri. Apakah upah yang mereka peroleh setimpal?

“What’s your plan now?” tanyaku, sembari melihat ke arah pintu terowongan. “Kamu tahu masih ada yang membuntuti kita?” tanyanya dalam bisik. Aku terkejut. “Tidak, aku rasa tidak”. Dia mendorongku pelan. “Hei, kamu kenapa sih? Pejamkan matamu dan dengarkan baik-baik.” Aku mendengar suara nafasku yang tidak teratur, suara nafasnya yang diatur, dan suara cekikikan kelelawar yang terganggu karena kedatangan kami. “Well, tidak ada yang membuntuti kita, Pah! Kayanya begal itu hanya akan menghadang si supir truk brengsek hahaha.” Dia mengacak-ngacak rambutku. “Aku cuma ingin kamu tenang, atur nafas, dan lihat ke atas.” Yang aku lihat adalah bulan purnama tanpa selimut awan sedikit pun. “Kita akan memanjat terowongan setinggi 116 meter, ke atas sana.” Istriku memang benar-benar gila.

“Kita nggak punya equipment apapun, Mah.”

Alih-alih mendengarkan, dia malah mulai meraba-raba dinding terowongan ini. Mencari pijakan yang aman sampai ke atas sana. Dan benar saja dia mulai memanjat. Mau tak mau aku mengikuti rencananya. Celah ke atas berdiameter kira-kira 200 cm, jangan harap kamu bisa menyentuh antar dinding dengan kedua bentang tanganmu. Tanpa keahlian panjat tebing, tidak mungkin orang lain melakukannya. Aku benci telah meninggalkan sarung tangan kulitku di penginapan. Aku coba memanjat, berpijak, meraih pegangan yang lebih tinggi, mengangkat badan, dan berpijak lagi, meraih lagi. Aku harap ada yang mendokumentasikan kami, karena apa yang sedang kami lakukan ini keren sekali!

Setelah 60 menit bersusah payah, dan tanganku pun lecet semua, kami sampai juga di atas. Baju kami yang belum sempat kering karena air laut, sekarang tambah basah karena keringat. Aku membuka jaket dan menggantungnya di lengan kananku, sampai menutupi tanganku. Di kejauhan, aku melihat cahaya dari lampu petromak yang menggantung di rumah-rumah. Ternyata kami sampai di perkampungan tempat kami menginap. Dia melangkah mantap ke arah cahaya petromak sambil membetulkan ikatan rambutnya yang mulai berantakan.

“Mah”

Dia membalikkan badan dan senyum pun hilang dari wajahnya. Darahnya seperti hilang begitu saja dari tubuhnya. Pucat pasi kata orang-orang. Pupil matanya membesar, nafasnya memburu, raut wajahnya mengeras. Mungkin dia ketakutan. Dia masih juga menyelesaikan ikatan rambut sambil melihat ke arah mulut pistol ber-silencer yang sudah kuacungkan 5 cm di depan dahinya. Dia tahu, jika aku tembak sekarang, tak satupun orang akan mendengar kami. Tidak penduduk kampung itu sekali pun. Angin membawa pergi suaranya jauh ke angkasa.

Bibirnya bergetar. “Kemarin malam saat kamu sudah tidur, aku merapihkan tasmu. Aku sempat buka pouch kulit yang kamu bilang nggak boleh dibuka. Ada 2 paspor. Atas nama kamu, Kevin Kurniawan dan satu lagi atas nama Permadi Atmaja. Tapi fotomu ada di dua paspor itu. Satu permintaan terakhir boleh, Vin?” Masih saja dia menatapku lembut. Sial. Sial! “Apa Yas? Kamu mau tahu mengapa aku harus menarik pelatuk ini?” Tanyaku datar, airmata mulai mengalir dari mata kanannya. “Jangan rusak wajahku di pemakaman nanti Vin. Tembak tepat dimana revolverku berada”

Dor!

Maafkan aku. Nyawa harus dibayar nyawa.

AW
Pondok Pucung, 19 Januari 2020
Birthday gift for every person born in January

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *