Aku tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana. Semuanya mengalir deras di kepalaku. Semuanya tidak ingin mengantri, berdesak-desakan menuju ujung jemariku. Semuanya saling tusuk dari belakang, demi menjadi juara. Jika nanti ceritaku sulit dipahami, kamu adalah orang yang berpikiran waras. Jika kamu paham semuanya, jangan jebloskan aku ke penjara.
***
Sore ini aku menjajakkan daganganku di lampu merah Jalan Pajajaran. Dengan bangga, aku membawa sekeranjang penuh botol-botol mantra nasihat kehidupan dengan harapan akan laris minimal setengahnya. Manusia perlu nasihat kehidupan bukan? Sering aku lihat mereka berlidah tajam memaki-maki orang yang miskin. Aku punya botolnya! Atau orang yang selalu iri melihat temannya lebih sukses? Ah, botolnya ada! Botol anti selingkuh pun ada kawan! “Botol anti korupsi, botol anti terorisme, botol anti makar, botol mantra botol mantra nasihat kehidupan!”, ucapku lantang di depan kaca mobil yang sedang menunggu lampu merah. Anehnya, meskipun banyak kendaraan yang lewat diakibatkan sistem satu arah, botolku tetap saja tidak laku. Aku merasa sudah berteriak-teriak mempromosikan barang daganganku, namun para pengemudi dan penumpang kendaraan tetap tidak mempedulikanku. Mungkin, suara manusia tidak lagi mereka dengar. Aku harus mentransfornasikan diriku menjadi anjing chi hua hua dulu, baru gonggonganku mereka dengar. Buktinya, banyak orang lebih memilih memelihara hewan dibandingkan memiliki anak. Banyak orang lebih sedih dan menangis ketika menonton adegan anjing tertabrak mobil. Bahkan, mereka sampai hati memaki-maki si pengendara mobil, walaupun adegan itu adalah fiksi belaka. Ah, aku lupa meracik botol mantra nasihat kehidupan: setiap manusia berhak bersuara dan didengarkan.
Atau sederhananya, mereka menikmati dalam melakukan kejahatan, kekejian, ketidak-manusiawi-an.
***
Percaya atau tidak, takdir itu ada dan nyata. Takdir itu sudah ditetapkan sejak sebelum kita dilahirkan dan tidak dapat diubah. Beberapa contoh takdir yaitu; kematian, rezeki, dan jodoh. Begitulah kira-kira hafalan sekolah dasar yang masih aku ingat sampai sekarang. Mungkin aku sudah bisa memberikan tambahan contoh takdir. Contoh ini akan sedikit panjang seperti soal cerita matematika. Aku bekerja sebagai pelayan pada salah satu kafe di Taman Kencana. Banyak pelanggan yang protes karena kafe kami tutup lebih awal dibandingkan kafe-kafe lain. Aku sampaikan saran-semi-protes para pelanggan itu kepada general manajer. Aku jelaskan panjang lebar. “Jika kafe buka lebih lama, penghasilan yang didapatkan akan jauh lebih banyak. Hasilnya bisa membuat peningkatan sarana kafe atau membuka cabang baru”, jelasku. General manager itu tersenyum, mengiyakan, dan berlalu begitu saja. Alhasil, kafe tetap tutup lebih awal. Pelanggan semakin berprotes ria. Berkali-kali aku sampaikan protes-semi-saran dari para pelanggan, tidak pula hati general manajer itu bergeming. Ada dua kemungkinan dari kejadian tersebut. Pertama si general manajer tidak mau mendengarkan aku. Kedua, general manajer mendengarkan aku tetapi tidak memikirkan apa yang aku katakan. Kemungkinan kedua lebih tepat karena kemarin aku paksa dia untuk membeli botol mantra nasihat kehidupan yang baru aku racik. Berarti, otaknya bagaikan mie cina yang direbus terlalu lama. Lembek dan sulit bekerja. Sudah menjadi takdirnya memiliki otak seperti itu. Maafkan aku tidak bisa merubah takdir.
***
Sebelum pulang ke kontrakan, biasanya aku nongkrong dulu dengan abang bakso di samping Rumah Sakit PMI. Aku selalu suka nongkrong di sini. Pertama, baksonya enak jadi aku rela merogoh kocek lebih. Kedua, aku menunggu kemacetan Jalan Baru mereda (walaupun di google map selalu merah!). Ketiga, mulut si abang penuh gosip orang-orang kaya. Siapa yang tidak suka gosip? Tolong stop bacanya sampai sini kalau begitu. Terimakasih dan sampai jumpa lagi mata-mata penuh dusta!
Baiklah, ceritanya akan kulanjutkan bagi pecinta gosip.
Si abang mulai bercerita setelah memberikanku mangkuk bergambar ayam berisi setengah porsi bakso panas. Tadi siang dia mengobrol dengan supir dari artis X. Jujur, aku tidak pernah dengar nama artis itu jadi kesebut saja artis X. “Artis X baru saja membeli baju di Paris yang harganya ratusan juta rupiah”, tutur si abang. Mendengarnya, aku sampai tersedak kuah bakso. Si abang menertawakan aku. Dia bilang bahwa banyak juga pengacara memakai sepatu seharga mobil, seraya memberikan aku air putih. Mataku berair, tenggorokanku panas, tapi ingin terus mendengarkan gosip. Kegunaan komoditas barang sudah bukan pada fungsi kualitatifnya, melainkan fungsi kuantitatifnya yaitu harga. Semakin mahal harganya, kamu akan semakin dipandang dan dihargai orang. Aku merasa otakku sudah seperti mie cina yang direbus terlalu lama. Apakah baju ratusan juta itu anti peluru? Apakah sepatu seharga mobil bisa membuat pemakainya tidak perlu berjalan lagi? Aku paham konsep ada harga ada kualitas, tetapi aku benar-benar tidak bisa menghubungkan sepatu dengan mobil melalui logika matematika yang sudah menjelimet di kepalaku.
Setelah kenyang menelan gosip, aku pulang dengan ojek online. Jalan Baru masih macet, dibanjiri wajah-wajah kelelahan bekerja. Aku mencari baju ratusan juta maupun sepatu seharga mobil dari pemilik wajah-wajah itu, tapi tidak kutemukan. Setidaknya kami yang terjebak macet ini mempunyai pemahaman yang sama.
***
Jika sedang dibonceng, aku jadi memiliki kesempatan untuk bengong. Aku sering sekali membayangkan berbagai cara kematianku kelak. Jika aku gantung diri, apakah beritaku akan seheboh vokalis band terkenal itu? Akan kah album band milikku akan laris? Sayangnya aku bukan vokalis band jadi aku tidak akan gantung diri. Dari sudut mataku, aku menangkap pengemudi motor disampingku bengong, melihatku menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab. Aku tak peduli, aku lepas liarkan lagi si pengemudi motor itu. Bagaimana jika ketika aku sedang menyetir, tiba-tiba ada pohon tumbang yang membuat tubuhku remuk seketika? Atau ketika sedang menyebrang jalan, ada pengemudi mabuk yang menabrak hingga aku terlempar 50 meter. Atau ada perampok yang menembakkan pelurunya tepat di dadaku. Apakah orang-orang akan menangisi aku? Atau malah menyumpah serapahkan aku karena belum membayar hutang? Lebih baik aku kumpulkan dulu pundi-pundi yang banyak sampai aku bisa membayar hutang, baru lah mati kemudian.
Omong-omong hutang, arti kata ini sepertinya terbagi dua. Pertama, hutang didefinisikan sebagai uang atau benda yang kita pinjam dan dijanjikan untuk dikembalikan sesuai kesepakatan peminjam dan pemiliknya. Seperti yang aku lakukan sekarang ini, aku meminjam uang dari pacarku untuk membayar uang kontrakan dan kami sepakat akan aku lunasi akhir bulan ini. Kedua, hutang didefinisikan sebagai jasa yang sudah diberikan kepada seseorang yang seharusnya secara suka rela dilakukan untuk orang yang membutuhkan jasa tersebut dan dikira sebagai pemberian yang benar-benar suka rela oleh penerimanya. Biasanya penerima ini disebut ‘berhutang jasa’. Jenis hutang ini sangat implisit dan akan ditagih disaat-saat yang menguntungkan bagi pemberi. Bagaikan dua sisi koin, menguntungkan pemberi dan merugikan penerima di dalam satu ruang dan waktu.
Sebagai contoh pahit, aku memiliki teman di lampu merah Jalan Pajajaran. Dia adalah Suchay, begitu dia menyebut dirinya, seorang pengamen berpenampilan kasual yang menggunakan sneakers merah. Dia pernah menawarkan botol mantraku untuk dijadikan lirik lagunya. Katanya biar orang-orang penasaran dengan botol mantraku dan segera membelinya dariku. Hal yang mudah, pikirku. Penjualan botol mantraku memang meningkat sedikit setelahnya. Terkadang aku suka membantunya bernyanyi di lampu merah karena wajah dan suaraku lebih bagus darinya. Setidaknya sebagai tanda terimakasih atas lirik lagu ‘Negeri ini Kecanduan Botol Mantra’. Suatu hari, Suchay mendapat tawaran tampil pada acara amal di salah satu kampus. Suchay bilang karena wajah dan suaraku bagus, aku diminta bernyanyi 3 lagu. Suchay tidak akan tampil karena dia malas menjadi terkenal. Aku sempat malas menanggapi namun dia bilang akan dibayar lumayan. Aku yang beranak piutang ini mau saja. Setelah selesai acara, kami duduk-duduk di pinggiran kampus. Sampailah pada pembagian upah, Suchay hanya memberiku 30% dari yang diberikan mahasiswa kepadanya. Sebanyak 70% upah meluncur ke kantong jeans bututnya. Katanya ini sebagai jasa sudah mempromosikan botol mantraku. Aku diam saja. Beberapa hari setelahnya, aku sedikit senang karena Suchay digebukin massa akibat mencopet di Pasar Anyar. Jika melempar batu ke air, hati-hati dengan cipratannya.
***
Sedari tadi aku belum diberi kesempatan berkenalan oleh cerita-cerita yang ada di otakku. Maafkan mereka. Namaku Ara, berumur 31 tahun, dan belum menikah. Aku punya pacar dan sudah berpacaran selama 5 tahun. Pacarku baik dan tidak norak karena rela uangnya aku hutangi setiap bulan dan tidak membuatku merasa berhutang jasa. Yang norak adalah teman-temanku yang sudah menikah.
Sepertinya jika kamu baru menikah, kamu akan menjadi norak. Kalau bukan norak ya lebay. Misalnya, “gue izin dulu ya sama suamik gue”, “suami gue lagi gak ada di rumah”, atau “suamik gue lagi pengen dimasakin sayur bening”. Padahal dan padahal, aku kenal dengan semua suami dari teman-temanku. Aku bertanya dengan cara begini: “eh gimana, Endro bisa nggak?”, “kan bisa pergi sama Iqbal?”, atau “bikinin pancake aja buat Wisnu”, tapi mereka tetap menjawab ‘Suamik gue’. Posesif pisan neng?
Kelebayan ini juga terjadi pada para suami. Semisal si istri update di media sosial foto pernikahan mereka, suami akan memberi komentar: “Jadikan lah pernikahan kami barokah, selalu lindungi kami dalam menjalankan sunnah-Mu.” Sejak kapan berdoa dipanjatkan melalui media sosial? Tuhan, negeri ini (butuh) kecanduan botol mantra.
***
Oh, aku telah sampai di depan kontrakan. Pacarku sudah menungguku di teras sambil menghisap rokok superfine clove. Wangi ayam goreng dari dalam kontrakan menggerayangi hidung dan perutku.
________________________________
17 Agustus 2017
Sebagai hadiah untuk tanah airku
(Oleh: Winati Nurhayu)
Ig: @ayuwinati