Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Menelusuri Jejak Leluhur di Tanah Lebak (Bagian 1)

letters-637441_1280
Foto dari Pixabay.com

Leiden, Juli 2018

Sebelum Kakek tiada, ia pernah memberikanku sebuah kotak kayu yang aku taksir berumur sudah cukup lama. Namun, Kakek berpesan untuk membukanya ketika kelak aku telah lulus kuliah. Waktu Kakek memberikannya, aku masih berkuliah dan sedang menjalani penelitian untuk bisa menyelesaikan Bachelor Thesisku. Tapi hari ini, hari dimana aku di wisuda merupakan hari yang ku tunggu untuk bisa membuka isi kotak tersebut.

Aku cukup sabar menunggu hampir satu tahun untuk bisa membuka kotak tersebut. Kotak yang selalu aku jaga dengan baik, hampir setiap hari aku pandangi, dan menjadi motivasi terbesarku untuk bisa menyelesaikan kuliahku dengan segera. Ya, aku pasti bisa selesai segera dengan hasil yang memuaskan.

Aku adalah lelaki berdarah campuran Indonesia dan Belanda. Kakek berdarah Indonesia yang menikahi seorang gadis Belanda yang kemudian memutuskan menetap di Kota Leiden. Lahirlah Ibuku, yang menjadi anak tunggal dari pasangan beda negara ini. Kemudian Ibu menikah dengan seorang pria Belanda dan lahirlah aku Karel Mahesa Dana Prabawa. Anak pertama dari dua bersaudara, yang ketika beranjak remaja harus rela kehilangan Ayah karena sebuah kecelakaan maut. Karenanya, Kakek adalah orang terdekatku setelah Ayah tiada. Maklum saja, dua penghuni rumah lainnya perempuan.

Dalam keseharian, aku menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Belanda. Kakek, mengharuskanku berbicara dalam Bahasa Indonesia dengannya. Ia selalu berujar “Agar kelak suatu saat jika ke Indonesia, aku tak kesulitan untuk berinteraksi dengan penduduk lokal.” Itu pula alasannnya mengapa Ibuku fasih berbahasa Indonesia meski ia lahir, besar, dan menikah dengan pria berkebangsaan Belanda. Bahkan namaku pun lebih kental dengan nuansa Indonesia.

Ibu menghampiriku yang duduk di dekat jendela sambil memandangi matahari sore itu. Sebentar lagi musim akan berganti dan udara menjadi lebih hangat.

“Selamat ya Nak, akhirnya kamu lulus dan menjadi sarjana. Ibu bangga sama kamu.”

“Terima kasih Bu. Terima kasih karena Ibu selalu mendukung dan mendoakan aku.”

“Ini, kunci gembok dari kotak pemberian Kakek. Kamu tentu sudah tidak sabar untuk mengetahui isinya kan? Bukalah, jangan kamu pandangi dan peluk saja.”

Jadi ketika Kakek memberikan kotak tua itu kepadaku, Ia tak serta merta memberikan kunci pembuka gemboknya. Ia menintipkan kunci gembok tersebut pada Ibu. Namun aku tak pernah berani meminta kunci itu pada Ibu hingga kewajibanku lunas. Aku begitu menghargai sosok Kakek.

Ditemani Ibu, perlahan aku membuka gembok yang mengunci semua misteri yang ada didalam kotak tua tersebut. Kutemukan sebuah amplop berwarna coklat kusam yang ditujukan untukku. Dibawah amplop tersebut, kudapati beberapa lembar foto hitam putih dengan latar yang berbeda-beda, namun dengan sosok yang sama.

“Ini siapa Bu?” tanya aku pada Ibu yang masih setia duduk disampingku

“Pria ini adalah Kakek dari Ibu, Ayah dari Kakek mu. Kakek tak pernah menunjukkan foto ini sebelumnya padamu Karel?”

Aku menggelengkan kepala. “Jadi ini Kakek Buyut ku? Ini pasti Nenek Buyut? Nenek dari Ibu?” tanyaku antusias.

“Iya, sudah baca dulu isi surat Kakek. Ibu mau kembali ke dapur dulu. Mau meneruskan masak untuk makan malam kita.”

Ibu meninggalkanku sendiri dalam kamar dengan semua rasa penasaran. Siapa orang-orang di samping Kakek dan Nenek Buyut ini, mereka terlihat akrab.

“Ah sudah lah nanti saja ku tanyakan pada Ibu. Baca surat dari Kakek dulu.” Ku tepis rasa penasaranku.

Kupegang erat-erat amplop berwarna coklat kusam tersebut. Ku usap-usap bagian atasnya, kucoba menghirup aroma yang menguar darinya. Berharap ada aroma Kakek tertinggal di sana. Perlahan dengan sangat hati-hati, kubuka amplop tersebut. Ada rasa haru dan rindu yang silih berganti datang dikalbuku.

“Aku rindu Kakek.” Bisiku.

****

Leiden, 09 November 2017

Untuk Cucuku Tersayang

Karel Mahesa Dana Prabawa

Selamat atas kelulusanmu hari ini, selamat menjadi sarjana. Kakek berdoa selalu agar kamu menjadi pemuda yang cerdas, tangguh, serta tak pernah lupa siapa penciptanya dan dari mana kamu berasal.

Kakek menulis surat ini khusus untukmu. Karena dulu Kakek berjanji akan menemani di hari wisudamu. Namun, Kakek sadar penyakit jantung ini semakin hari semakin memburuk. Maka, Kakek meminta Ibumu untuk mencarikan sebuah kotak kayu yang sudah ku simpan digudang berpuluh-puluh tahun lamanya ini untukmu. Kakek berniat untuk memberikannya sebagai hadiah di hari wisudamu.

Kamu ingat obrolan kita saat sedang berjalan-jalan di taman, saat umurmu menginjak tujuh belas tahun?

Waktu itu kamu bertanya padaku, mengapa kita tak pernah berkunjung ke Indonesia? Apakah aku pernah pulang ke Indonesia?

Hari itu, Kakek bingung menjelaskannya padamu, karena belum saatnya. Tapi sekarang, akan Kakek ceritakan padamu semuanya.

Kakek lahir di sebuah desa yang terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya, terdapat pegunungan bahkan jurang yang menganga, serta hasil bumi yang luar biasa. Tak jauh dari tempat tinggal Kakek, terdapat pantai-pantai dengan karang-karang bermunculan ditengah-tengah lautan luas. Desa tersebut bernama Bayah, Lebak.

Kakek terlahir dari keluarga yang cukup berada diantara kondisi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Orang tuaku yang tak lain merupakan Buyutmu memiliki tanah yang cukup luas dan berkedudukan sebagai Lurah. Kakek sendiri merupakan anak terakhir dari lima bersaudara dan anak lelaki satu-satunya.

Ayahku sangat menyayangiku, hingga ia mengajariku banyak hal untuk bisa menjadi pemuda yang hebat dan tangguh. Aku selalu menemaninya kemanapun pergi, mengenal semua orang yang ia temui, bahkan terkadang aku mencoba mencerna apa yang sedang mereka diskusikan. Aku tak tahu persisnya seperti apa, akhirnya aku bisa bersekolah di Sekolah Rakyat.

Setelah lulus, aku tak langsung meneruskan sekolahku. Saat itu kondisi di desa semakin memburuk. Kami diharuskan membayar pajak dan menyerahkan hasil pertanian kami pada pemerintahan Jepang. Keluargaku termasuk yang beruntung, kami mampu melewati hari-hari sulit tersebut meski harus kehilangan banyak harta dan sanak saudara.

Setelah kemerdekaan, akhirnya aku bisa melanjutkan ke sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Hingga akhirnya aku tiba-tiba saja dikirim ke Belanda untuk bersekolah di tahun 1957an. Sebuah negara yang pernah menjajah negeriku, bahkan dibangun dengan peluh rakyat-rakyat kecil yang tertindas. Cobalah kau cari buku berjudul Multatuli karya Max Havelaar yang menceritakan betapa sengsaranya masyarakat Lebak saat masa dikuasai Belanda.

Kemerdekaan tak serta merta menghentikan kekacauan. Masih banyak pemberontakan dimana-mana. Hampir disemua daerah di Indonesia terdapat pemberontakan untuk mempertahankan kemerdekaan ataupun menegakkan paham-paham tertentu dalam pemerintahan. Hingga banyak pejanjian-perjanjian antar negara dibuat untuk kedamaian. Aku selalu memantau perkembangan negeriku dari sini, bersama pelajar-pelajar yang lain.

Beberapa bulan sejak tiba di Belanda, kudengar kabar bahwa semua keluargaku harus meregang nyawa karena pemberontakan di Banten Selatan, yang tak lain kampung halamanku. Tak satupun dari mereka lolos dari maut. Aku kehilangan semuanya saat itu, hatiku hancur. Aku ingin kembali, tapi kondisi saat itu tak memungkinkan. Aku tak bisa pulang hingga studiku selesai.

Setelah lulus, aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Kuputuskan untuk mengambil kesempatan itu dan akan kembali ke Indonesia setelah membereskan semua hal. Hingga saat aku memutuskan untuk kembali di tahun 1965, aku tak bisa kembali. Hatiku hancur untuk kedua kalinya.

Aku terus mengusahakan untuk bisa kembali ke Indonesia, tapi tak bisa. Dipenghujung tahun 1967 aku bertemu dengan nenekmu dan jatuh cinta padanya. Aku memutuskan menikahinya dan menetap di Leiden bersamanya. Itu mengapa, aku tak pernah pulang ke Indonesia. Aku cukup senang dengan banyaknya orang Indonesia yang bisa kutemui di sini.

Pertanyaanmu tentang tanah kelahiranku, tiba-tiba memunculkan kerinduan itu di masa tuaku yang sudah sakit-sakitan. Sungguh aku merindukannya, merindukan kampung halaman. Untuk itu, bisakah kau mewakiliku mengunjungi tanah kelahiranku, penyambung rindu untuk Kakek?

Foto-foto yang kau lihat dikotak ini adalah Ayah dan Ibuku serta saudara-saudara perempuanku. Beberapa foto yang lain adalah gambaran dari kampung halamanku dulu, saat kali terakhir kulihat.

Kakek meninggalkan sejumlah tabungan untukmu agar bisa berkunjung ke Indonesia. Kakek rasa itu cukup untuk membiayai perjalananmu ke sana bahkan menghidupimu di sana lebih dari tiga bulan. Lihatlah kampung halamku, tempat kamu berasal Karel.

Selamat Menelusuri Jejak Leluhur di Tanah Lebak. Aku yakin kau akan menyukainya.

Salam sayang dari Kakekmu di Surga

Amir Husein Prabawa

****

Segera kututup kota kayu tersebut dan berlari menemui Ibu ke dapur.

“Ibu, aku akan ke Indonesia!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *