[1]
Sebagai makhluk, Aku terikat
Pada darahku mengalir
Air dada pada ibu
Pada nafasku terhembus
Air keringat pada ayah
Aku terikat tanpa seutas tali
Bayang-bayang mengekang jasad
Hingga akhir detak jantung
Sebagai makhluk, Aku bebas
Mencapai angan tanpa resah
Lupa pada siapa kumeronta
Memetik bintang di gelap malam
Terhanyut larut hingar bingar
Aku bebas terbang bagai burung camar
Melintasi khatulistiwa membelah lautan
Bukan untuk tempat berlabuh
[2]
Sebagai makhluk, aku berkelana
Terseok arus atas dan bawah, kiri dan kanan
Diri ini tak pernah berhenti mengarah
Menggapai cita yang semakin terarah
Memaksa maju, pantang undurkan langkah
Menapak kerikil tajam, demi hidup yang cerah
Namun aku, telah terlupakah?
Sebagai makhluk, Aku kembali
Pada jiwa menggigil pilu
Gemerlap dunia telah samarkan rindu
Siksalah sukma, bungkamlah nurani
Pada diri yang menangis tersedu
Maukah aku melihat?
Maukah aku mendengar?
Berhenti sejenak, perlahan bernapas
[3]
Hai makhluk bernama manusia!
Badai telah tiba, semesta ingin bertahta
Kembali berjaya, lantaran sudah lama diperkosa
Raga terpasung ruang, jiwa tersandra romansa
Cita cinta mulai berpasrah kehilangan asa
Halusinasi memenuhi ruang jiwa
Kita tak lagi berdaya
Sebagai mahkluk bernama manusia
Kita pandai, tapi sering abai
Otot besar, gunanya main kasar
Mulut lebar, omong besar
Nurani mati, saling menyakiti
Rasanya, kita ada hanya untuk buang-buang energi
Kita manusia? Aku mulai mempertanyakannya kembali
[4]
Kami manusia, kami berkuasa
Tiga ratus lima puluh ribu tahun berjaya
Menundukkan Bagaskara
Melumat Ancala
Menggagahi belantara
Tiga ratus lima puluh ribu tahun lamanya
Kami bertahana di puncak piramida
Apakah kejayaan akan sirna?
Hai! Kami manusia-manusia bengis
Diri bertambah apatis
Semesta sirna dilibas antroposentris
Pertiwi kian langis
Nabastala tak kuasa membendung tangis
Kami lah manusia, si makhluk berhati demit
Sudah tiba waktu untuk pamit
(Karya: [1] Ayuwinati [2] Puji Rianti [3] Eneng Nunuz Rohmatullayaly [4] Arifin Dwipa Irsyam)