
(Catatan MaknaKata: Cerpen ini telah dinobatkan sebagai Pemenang Ketiga Lomba Cerpen 2016-Departemen Biologi IPB)
Namaku Jomi Setiawan, aku orang Jawa Timur.
Aku adalah salah satu mahasiswa semester enam (menjelang tujuh) di Biologi IPB. IPB punya slogan “Mencari dan Memberi yang Terbaik”. Gimana perasaan kalian dengar slogan itu? Aku sih, bangga. Soalnya dengan slogan itu, aku jadi punya modal buat nembak gebetanku, bahwa aku merupakan yang terbaik di kelasnya. Kata orang tuaku, aku adalah anak yang ganteng. Tapi, kata teman-temanku, aku ini sok ganteng, jomblo pula. Aku nggak tau apa yang membuat pendapat mereka berlawanan. Mungkin karena tingkat kejujuran antara kubu orang tua dan teman-temanku berbeda. Jelas tingkat kejujuran orang tuaku lebih tinggi rendah dari teman-temanku. Kata orang tuaku juga, aku adalah anak yang manja di mana pun aku berada. Kalau di rumah, aku biasanya minta disuapi makan ke ibu atau kakakku, sedangkan untuk mengambil barang-barang yang seharusnya bisa aku ambil sendiri, aku memberdayakan tenaga ayahku yang jauh lebih besar dibanding anggota keluarga yang lain. Selain sok ganteng dan manja, aku juga punya talenta lain yang jarang dimiliki orang yaitu gampang sial. Buktinya, namaku yang seharusnya Joni beralih menjadi Jomi ketika ayahku mendaftarkan akta kelahiranku di kantor kelurahan. Tapi ayah tetap tidak mau memperbaikinya dengan alasan, nama belakangku adalah “Setiawan” yang artinya orang yang setia. Jadi aku harus menanggung nama ini demi mempertahankan predikat setia.
***
Di semester ini, aku wajib mengambil mata kuliah praktik lapangan atau disingkat PL dan hari ini pengumuman pembagian dosen pembimbing PL ditempel di mading informasi. Setelah mengetahui dosen masing-masing, teman-temanku mulai memutuskan tujuan PL mereka. Sedangkan aku masih bingung mau PL di mana. Aku bingung, melihat kanan dan kiri, barangkali mendapat inspirasi. Lewatlah Rambo yang sedang menguap lebar seperti singa atau lebih tepatnya kuda nil. Seketika aku teringat berita tentang kematian singa di Kebun Binatang Surabaya. Aku segera menuju ruangan dosen pembimbing PL untuk berkonsultasi mengenai praktik lapangan yang akan aku lakukan hanya sekali seumur hidup.
Tok tok tok…
“Masuk”, sahut Ibu Dosen dari dalam rungan.
“Assalamu’alaikum, Bu. Bu, Saya Jomi mahasiswa bimbingan PL Ibu”.
“Oh iya, silahkan duduk Jomi. Gimana, mau PL di mana? Jangan di balai lho ya.”, tanya Ibu Dosen sembari mengingatkan.
“Eh, endak Bu, ndak di balai, hehe. Jadi begini, Bu. Kemarin saya menonton berita, katanya singa di Kebun Binatang Surabaya mati karena kurangnya perhatian dari penjaganya. Maka dari itu, saya ingin PL di sana Bu, saya ingin mencurahkan segenap kasih sayang dan cinta saya untuk binatang-binatang di sana”, jelasku.
“Kamu serius, Jomi? Apa ndak dipikir lagi? Kalau Ibu lihat, Ibu ndak yakin dengan tampangmu. Bisa-bisa ndak hanya singa yang mati kalau kamu PL di sana”, terang Ibu.
“Oh, begitu Bu? Menurut ramalan Ibu, apa lagi yang akan mati Bu?”. Ini ngaco, Ibu bukan paranormal.
Perbincangan kami berakhir dengan hasil bahwa aku harus mencari tempat PL lain. Karena kebingunganku masih melanda, aku segera menelfon ayahku untuk membicarakan hal ini.
Terdengar nada sambung ayahku, kemudian…
“Halo, ono opo le?”.
“Halo Yah, piye kabare? Iseh enak jamanku to?” tanyaku sambil tertawa kecil.
“Baik, le. Kamu sehat toh le? Kenapa le?”
“Sehat Yah. Begini Yah, aku mau praktik lapangan, tapi maunya praktik lapangan di rumah saja. Gimana yah?”
“Praktik lapangan di rumah? Kamu mau jadi pembantu rumah tangga? Oh, kebetulan tetangga samping rumah ada yang butuh pembantu, le. Kamu mau?”
“Duh Yah, bukan itu. Maksudnya, praktik lapangan di perusahaan yang letaknya masih dekat dengan rumah.”
“Oh, begitu. Sek, sek, ayah mikir dulu. Ayah tanya Ibu sama Mbah Uti dulu ini”.
Pembicaraan terhenti sejenak, aku menunggu jawaban ibu yang akan disampaikan melalui Ayah.
“Halo…”
“Ya Yah?”
“Kata Ibumu, ada pabrik pengolahan bulu domba. Tapi Ibumu khawatir kalau-kalau rambutmu kenapa-napa”
“Waduh”, aku menimpali sambil mengrenyitkan dahi, melirik ke arah rambutku yang keriting seksi ini. “Yang lain, ada lagi Yah?”
“Kata Mbah Uti, ada pabrik kecap le. Tapi Mbah Uti khawatir, nanti pegawainya ndak bisa bedakan kedelai hitam sama kamu le”. Aku pandangi kulitku yang hitam legam eksotis ini, bukti perjuangan dalam mengejar gebetan, eh, dalam melaksanakan praktikum di luar laboratorium. Hmmm, padahal ini juga warisan dari ayah dan ibu, kan mereka yang membuat aku.
“Saran Ayah bagaimana?”, tanyaku.
“Ada pabrik semen, le. Kebetulan ada teman ayah di sana? Mau?”
“Mmm, bisa-bisa yah. Eh, sebentar. Ada yang Ayah khawatirkan ndak?”, aku penasaran.
“Hehehe”, tawa ayah. “Hehehe”, aku menimpali.
***
Aku berencana menemui Ibu Dosen pembimbing PL dan akan ku utarakan semua perasaanku. Aku segera membuat janji dengan beliau, beliau pun mengiyakan.
Tok tok tok…
“Masuk”
“Assalamualaikum, Bu”, sapaku sambil menjabat tangan beliau.
“Waalaikumussalam. Jadi PL di mana Jomi?”
“Saya ingin PL di pabrik semen yang ada di dekat rumah saya, Bu”
“Sudah yakin?”, tanya Ibu Dosen.
“Sudah, Bu. Ada apa, Bu? Sepertinya ada yang Ibu khawatirkan?”
“Hehehe”, Ibu Dosen tertawa.
“Hehehe”, aku juga tertawa. Mungkin Ibu Dosen mengkhawatirkan pegawai pembuat semen tidak dapat membedakan aku dengan tanah liat bahan dasar semen. Sama seperti Mbah Uti saja.
Setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing PL, aku berniat mengajak teman untuk melaksanakan PL di lokasi yang sama. Aku mengajak Rambo dan kebetulan Rambo bersedia untuk melaksanakan PL di pabrik semen tersebut. Rambo juga orang Jawa Timur.
“Jom, ayo kita urus proposal dan surat-surat yang dibutuhkan ke Mas Endan”, ajak Rambo.
“Oke deh, Mbo”.
Kami segera menemui Mas Endan. Aku rasa tidak ada anak Biologi yang tidak tahu Mas Endan, seorang yang sudah mempunyai level kesabaran yang tinggi. Beliau adalah pegawai TU yang sangat terkenal di Departemen Biologi ini. “Mas Endan…”, “Mas Endan…”, “Mas Endan…”. Suara kami bersahutan memanggil Mas Endan. Entah mengapa Rambo juga menjadi lebih manja kepada Mas Endan. Kami terharu melihat Mas Endan, dengan tubuh kecilnya itu, Beliau melayani kami dengan tulus dan sabar. Kami meneteskan air mata, berpegangan tangan, berbagi penderitaan, dan saling menguatkan. Loh? Setelah semua administrasi terpenuhi, kami pulang ke Jawa Timur dengan segala keperluan pelaksanaan PL.
***
Ini adalah hari pertama aku di rumah, satu minggu sebelum PL dimulai, dan bertepatan dengan bulan puasa. Aku memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan segalanya. Di tengah-tengah persiapan, aku sadar bahwa aku membutuhkan sepatu baru.
“Yah, minta belikan sepatu baru ya Yah”, pintaku.
“Lho, sepatumu kenapa memangnya le?”
“Solnya sudah tipis yah”
“Mangkanya, sepatu itu dipakai, bukan diinjak. Ya sudah, nanti sore ayo ke toko sepatu”, ajak ayah.
“Horeee”, aku kegirangan.
Sore itu, aku, Ayah, dan Ibu pergi ke toko sepatu. Aku memilih sepatu berwarna abu-abu, supaya tidak mudah terlihat jika sepatu tersebut kotor. Ini adalah trik murahan orang-orang yang malas mencuci sepatu. Sebenarnya bukan malas, lebih tepatnya adalah menghemat energi. Setelah sepatu kudapat, kami segera kembali ke rumah. Sepatu baruku disimpan oleh ibuku. Ya, sebagai anak manja aku hanya terima beres. Bahkan, sebenarnya aku tidak ingin pergi ke toko sepatu, aku inginnya toko sepatu yang menghampiriku. Hmmm, dasar makhluk berlebihan, lagipula itu adalah hal yang tidak mungkin.
Anyway, pabrik semen yang aku tuju adalah pabrik yang sudah lama berdiri di Indonesia sejak tahun 1953. Kebayang kan, betapa tegarnya dia? Pabrik semen ini juga banyak diincar oleh pelajar maupun mahasiswa untuk praktik lapangan (magang). Minggu depan, tepatnya hari Senin, adalah hari pertama pelaksanaan PL. Aku mendapatkan undangan untuk menghadiri pengarahan yang diadakan oleh perusahaan tersebut, begitu juga Rambo. Pengarahan PL ini akan dilaksanakan di kantor pusat pabrik tersebut yang jaraknya kurang lebih 100 km dari rumahku, jauh. Aku tak sabar menunggu hari itu. Tiba-tiba ponselku berdering. Tilulit… Setelah aku periksa ternyata pesan dari operator. Halah, jomblo. Tilulit… Rupanya ada satu pesan lagi, alih-alih aku mendapat pesan dari gebetan malah dapat pesan dari Rambo.
“Jom, Senin nanti kita mau berangkat jam berapa?”
Aku segera membalas pesan gebetan, eh, pesan Rambo.
“Jam tiga pagi aja Mbo, undangannya kan pukul tujuh pagi. Takut macet di jalan, ada perbaikan jembatan soalnya”
“Oke Jom. Sudah lengkap semua kan, peralatanmu? Surat-surat? Sepatu? Jas almamater?”, tanya Rambo perhatian.
Walah, iya. Rupanya aku belum mempersiapkan jas almamaterku. Kancingnya lepas dan hilang jadi harus diganti dengan kancing yang baru. Mmm, tapi kan masih satu minggu lagi. Maka aku santai saja menghadapi copotnya kancing jas almamaterku.
Jika ditarik waktu ke belakang, hilangnya kancingku patut dijadikan peristiwa yang tidak bersejarah. Ketika menjelang semester tiga, aku dan teman-teman satu angkatan diharuskan mengikuti masa perkenalan departemen atau disingkat MPD yang mewajibkan kami untuk memakai jas almamater selama kegiatan tersebut berlangsung. Saat itu juga hatiku tertambat pada seorang gadis manis yang hingga saat ini statusnya masih sebatas gebetanku. Dia sedang berdiri di barisan hukuman karena tidak mengikat rambutnya, kala itu. Aku langsung berbisik kepada Rambo, “Mbo, itu mbaknya manis banget Mbo”.
“Yang mana?”, tanya Rambo.
“Itu, yang sedang dihukum. Yang rambutnya terurai”.
“Kamu mau aku dekatin ke mbaknya? Gampang. Aku punya karet gelang, coba tawarkan ke dia”, saran Rambo.
“Yang benar saja kamu, masa karet gelang?”, aku menimpali.
“Sudah, ndak apa-apa”.
Entah mantera apa yang dibisikkan Rambo kepadaku, akhirnya aku pun menurut. Aku mencuri kesempatan untuk menghampirinya, agar tidak ketahuan oleh panitia. Aku mengambil langkah setengah berlari. Lub dub, lub dub, aku bisa mendengar dengan jelas degupan jantungku sendiri. Tiba-tiba, dengan sangat terasa ada tarikan yang sangat hebat dari arah belakang pada jas almamaterku. Aku tertahan, mundur perlahan. Pyar… Kancingku berhamburan, terlepas dari jas almamater kebanggaan. Seorang panitia divisi tata tertib mendapatiku dan menghentikan langkahku. Aku jatuh terduduk, nyengir karena malu. Tetapi akhirnya aku ditempatkan pada barisan hukuman bersama mbak manis itu. Ku bahagia. Hehe.
***
Hari yang aku tunggu-tunggu telah tiba, hari pertama PL, sekalipun agendanya hanya pengarahan. Aku bangun pukul dua pagi dan segera mandi. Ya, airnya dingin, sedingin… ah, sudahlah. Aku mengambil pakaian yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Aku mengingatkan Rambo via WhatsApp agar bersiap-siap juga.
“Jomi, sudah selesai?”, tanya ibu dari luar kamar dengan suara keras.
“Sudah, Bu. Sisiran”
“Surat-surat sudah? Administrasi sudah?”
“Sudah, Bu”
“Jas almamater sudah?”
“Waduh. Jomi baru ingat Bu. Belum disetrika, belum dipasang kancing juga”. Aku sangat panik. Naluri manjaku memaksaku untuk meminta bantuan ibu.
“Bu, minta tolong rapikan jas almamaterku Bu”, pintaku merengek dengan panik.
“Iya, le”, sahut ibuku.
Sembari ibu mempersiapkan jas almamaterku, aku memasukkan tas ke dalam mobil. Tetapi, aku belum melihat sepatuku di dalam sana.
“Yah, sepatuku belum masuk mobil yah. Mau minta tolong ambilkan”, pintaku lagi.
“Sek le. Sebentar”, jawab ayah.
Aku sengaja hanya mengenakan sendal jepit dan berencana akan memakai sepatu ketika sudah sampai di lokasi.
“Le, jas almamaternya sudah selesai, wes lha berangkat”, kata ibu sambil membawa jas almamaterku.
“Iya bu. Assalamualaikum”, aku pamit dan mencium tangan ibu.
“Waalaikumussalam”.
Perjalanan kali ini dimotori oleh ayah. Mobil kami menuju rumah Rambo untuk mengajak Rambo pergi bersama. Kami melaju menuju rumah om dan meminta tolong kepadanya untuk mengantar kami ke lokasi karena om yang tahu jalan menuju lokasi pengarahan tersebut. Aku dan Rambo sih hanya tidur saja sepanjang perjalanan. Tetapi aku buru-buru bangun karena aroma kenangan mulai menghantui mimpiku. Tak lama, kami tiba di gedung utama perusahaan semen ini. Aku segera memakai sepatu dan jas almamaterku. Wah, aku bertemu teman-teman dari universitas lain dan anak-anak SMK juga. Kami semua adalah peserta praktik lapangan. Aku dan Rambo segera memasuki ruangan dan segera mencari tempat duduk yang paling nyaman, yang tidak terlihat oleh pembicara jika aku tertidur. Aku takut kebiasaan di kampus terbawa ke ruangan ini, tertidur terus mimpi kepeleset terus kaget. Itu memalukan.
Aku dan Rambo memilih tempat duduk nomor tiga dari depan. Aku rasa tempat ini cukup nyaman dan tidak berada di barisan paling depan juga. Aku duduk di barisan paling pinggir kiri, sedangkan di sebelah kananku ada Rambo dan cewek-cewek dari Universitas Brawijaya. Wah, cantik-cantik sekali mereka. Kami berkenalan sambil menunggu pembicara memulai pengarahan. Tak lama kemudian ada satu orang menuju ke depan. Ketika aku lihat wajahnya, wah, sangat mirip dengan pesulap yang hobinya membawa burung hantu, berpakaian hitam, dan memberikan kode-kode saat berbicara, Limbad. Tapi beliau tidak memiliki taring panjang. Beliau pun memberikan arahan untuk segera mengumpulkan berkas yang harus dibawa.
“Sekarang, kumpulkan fotokopi asuransi, fotokopi KTM, dan foto kalian ya. Distaples, jangan di-clip!”, kata beliau.
“Waduh, ndak bawa stapler. Gimana nih?” kataku.
“Cewek sebelah kita bawa stapler nih. Pinjem aja yuk” kata Rambo memberi saran.
Mereka meminjamkan stapler kepada kami dan berkas kami sudah kami kumpulkan. Materi pun mulai disampaikan. Aku mengambil posisi duduk paling enak. Aku mendengarkan pembicaranya senyaman mungkin. Aku menyilangkan kaki kiriku di atas kaki kananku sehingga kaki kiriku menghadap ke arah teman-teman yang berada di sebelah kananku. Ya, itu posisi paling enak. Aku mendapat keberuntungan, aku tidak tertidur.
Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB, materi pun selesai. Aku dan Rambo segera menuju mobil. Panas sekali siang ini. Seandainya ini bukan bulan puasa, pasti sudah diajak makan siang oleh ayah. Kami pulang dengan perlahan. Dengan cuaca yang panas, kepalaku satu-satunya ini cukup pusing. Ditambah lagi kami terjebak macet. Kami pun menuju masjid untuk sholat dhuhur terlebih dahulu. Di tengah perjalanan menuju masjid, aku menahan dengan sekuat tenaga segala hasrat untuk menyemburkan isi perut. Aku pingin muntah. By the way, gampang mabok adalah kelebihanku yang lain. Aku coba pejam, tapi takut terbayang masa lalu. Aku melek, malah pusing. Ya sudahlah, aku pejamkan saja dibanding nantinya aku mengeluarkan sesuatu yang menjijikkan dari perutku dari mulut.
Aku terkapar di kursi mobil. Di tengah keterkaparanku, aku coba membuka mata untuk mencari pemandangan yang lain dengan maksud mendapat suasana baru. Bola mataku menatap Rambo yang juga terkapar, mulutnya menganga, seperti hatinya. Hmmm, pemandangan ini semakin memperburuk keadaan. Aku mencari sudut lain untuk dipandang. Aku melihat ke arah sepatu baruku. Aku terkesima, terpaku seketika. Aku terkejut ketika melihat label harga masih terpasang dengan eratnya di sepatu kiriku.
“Astagaaa”, aku menjerit dalam hati. “Siapa saja yang sudah melihat ini?”. “Aku menyilangkan kaki kiri ke arah kanan pula tadi”, batinku.
Tetapi hati Rambo terlalu peka untuk mendengar jeritanku. Rambo terbangun.
“Kenapa Jom?”, tanya Rambo sambil sempoyongan.
“Lihat sepatuku, Mbo.”, jawabku singkat.
“Hahaha”, “Om, sepatu Jomi masih ada label harganya om, mau dijual lagi kayaknya”, lanjut Rambo kepada ayah dan om. Hahaha. Ayah dan om tertawa puas.
Jomi memandangiku dengan seksama. Ih, jangan-jangan dia… ah, tidak mungkin. Rambo masih normal.
“Lihat, jas almamatermu”, kata Rambo lagi.
Aku segera melihat jas almamater yang masih aku kenakan. Aku tercengang. Lagi-lagi aku terkejut karena kancing yang terpasang di jas almamaterku adalah kancing warna-warni yang sangat tidak sesuai dengan warna jas almamaterku yang biru tua ini.
“Ampuuunnn…”, kataku. Pasti ibu sangat terburu-buru dan tidak memperhatikan kancing yang dipasangnya dini hari tadi.
***
Kami pun tiba di masjid tujuan kami. Aku segera turun dan mengambil air wudhu. Aku harus menghadap Sang Kuasa, aku harus mengadu atas apa yang aku alami hari ini. Setelah selesai sholat, aku merenung. Seandainya aku sendiri yang mempersiapkan sepatu dan memasukkannya ke dalam mobil, mungkin tidak akan terjadi seperti ini. Mungkin aku akan memastikan label harga sudah tidak lagi menempel di sepatuku. Seandainya aku sendiri yang memasang kancing pada jas almamaterku, pasti akan ku pilih warna kancing yang paling sesuai. Aku malu kali ini, pada Rambo, juga pada diri sendiri.
“Tenang, Jom. Ini bukan sial. Hanya kamu yang terlalu manja dan terlalu meremehkan keadaan”, lipur Rambo.
“Iya, Bo”, jawabku dengan sangat menyesal dan ku tekadkan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.
(Oleh: Rahmah Arfiyah Ula)