Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

GULALI

8ca23c17c8666d10bab697b727d492c4
sumber: designdazzle.com

Aku makin membara laksana api biru di atas kompor gas. Ku goyangkan tubuh ini lebih dahsyat lagi, tak kalah dengan hentakan musik yang semakin cepat. Pinggul ku goyang-goyang. Aku seperti kerasukan kuntilanak yang biasa bertengger di atas pohon angsana dekat stasiun. Tak ku perdulikan lapisan bedak yang mulai meleleh di wajah. Semua orang semakin berteriak kesetanan. Histeris. Namaku dielu-elukan, “Tini! Tini! Tini!”. Oh..bahagia tak terkira. Puas sekali. Barisan pria di depan panggung bergerak tak karuan. Tangan diangkat ke atas lalu digoyang. Sekelompok remaja di belakang sana sepertinya tak sanggup menutup rahang mereka yang terbuka. Petang itu lagu Terajana kudendangkan di pasar malam. “Pinggul bergoyang-goyang rasa ingin berdendang…”.

Mereka memanggilku Martini, Sang Gulali panggung. Memanjakan setiap orang yang menjadi saksi pada bakatku yang luar biasa. Tak ada yang bisa menandingiku di desa ini. Impian kala remaja yang menjadi nyata. Lima tahun yang lalu, Bapak mengancamku. Dia memaksaku mengadu nasib di Ibu Kota atau berdendang lalu pergi dari rumah karena tak lagi diaku anak. Sebuah pilihan yang sulit untukku. Bapak ibarat menawarkan racun tikus di tangan kiri dan racun serangga di tangan kanan. Pendek kata, aku menuruti kemauan Bapak untuk merantau ke Jakarta.

Aku berdendang dan bergoyang sejak kecil. Kata Ibu, aku anak hasil perselingkuhannya dengan seorang pemilik orkes dangdut. Mungkin saja darah seni dari sosok lelaki itu mengalir deras dalam nadiku. Hingga usia sekolah dasar, aku selalu berjoget gembira ketika melihat Iis bernyanyi di dalam kotak kaca selebar empat belas inci. Saat itu aku berkhayal menjadi sosok Iis yang cantik, aduhai, dan bersuara emas. Seorang biduanita yang namanya selalu diagung-agungkan. Seminggu setelah Ibu menceritakan hal itu padaku, dia mati dengan gumpalan rahasia di dada. Bapak ndak tahu menahu soal rahasia kotor ini. Kalau pun tahu, ia tidak akan pernah berhasil untuk merendam namanya dalam cairan pemutih apapun.

Pepatah kaum menengah ke bawah benar adanya, bahwa Ibu Kota memang lebih kejam daripada ibu tiri. Pencarian kerja tak berjalan mulus seperti paha penyanyi dangdut idola. Berbekal ijazah sekolah kejuruan, aku diterima sebagai pegawai rendahan tak tetap di salah satu bank swasta. Selama tiga tahun, aku menjadi orang lain bagi diriku sendiri. Ku jalani setiap hitungan detik dengan tekanan batiniah. Keinginanku seperti Iis, terpaksa harus dibekukan untuk sementara waktu. Hingga entah kapan.

Upah yang diterima oleh pegawai rendahan sepertiku pun terkadang tidak cukup. Aku harus memutar otak lebih keras. Belum lagi kekasihku, Jamin, hanya bekerja sebagai kenek metromini. Dia selalu mengharapkan lebih dariku. Tak mampu menjamin kehidupan yang nyaman untukku. Tadi sore ia merengek seperti anak kecil yang kehabisan gulali. Tiga lembar seratus ribuan melayang ringan menuju kantung celananya. Lembaran-lembaran berwarna merah yang akan ia pakai untuk menuntaskan hasrat duniawi atau minum-minum bersama para kuli bangunan di depan kamar sewaku.

Suatu pagi yang mendung, seorang tukang ojek berkata bahwa aku terlihat cantik bila wajahku disapu oleh make up. Aku tersipu mendengarnya. Seketika aku membayangkan bahwa akulah Iis. Perempuan yang kuidolakan sejak kecil. Seperti efek beberapa butir pil kobra yang dijual di pinggiran jalan, hasratku untuk berdendang kembali bangkit. Keras sekali. “Tak ada salahnya bila aku mencoba”, batinku. Aku memutuskan hubungan dengan Jamin tak lama setelah itu dan berusaha hidup serba minim supaya dapat mengumpulkan peralatan dandan. Lumayanlah, uang jatah untuknya kini dapat beralih wujud menjadi gincu, pemerah pipi, eyeshadow, bulu mata palsu, dan pelbagai senjata kecantikan lainnya.

Aku mulai bernyanyi kembali di suatu malam. Beberapa orang memandangku rendah dengan pekerjaan seperti itu. Namun, tak sedikit pula lelaki pinggiran kota yang kesepian, dibuatnya bahagia oleh kehadiranku. Perjuangan menjadi biduanita kampung mulai membuahkan hasil. Suara indah dan paras cantikku semakin dikenal banyak orang. Meski aku tak seberuntung Iis, setidaknya aku menjadi primadona dalam daun kelor.

Mimpi indah tetiba berubah mencekam, tatkala Bapak menunjukkan batang hidungnya di depan pintu kamar. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah busuk, menarik perhatian para tetangga. Mereka berbondong-bondong mendekati kami seperti kumbang tahi yang menemukan seonggok kotoran kerbau yang masih hangat. Pagi itu aku tak ubahnya sebungkus sampah. Bapak melemparkan tamparannya ke pipi. Berkali-kali. Aku menangis. Kemudian ia tarik rambutku, hingga aku meringis kesakitan dibuatnya. “Ampun, Pak! Ampun…. kula nyuwun pangapuro..”, rintihku. Percuma, ia tak leleh dengan tangisanku. Di matanya aku hanyalah anak durhaka yang mencoreng nama baik keluarga. Maklum, bapakku berasal dari keluarga berlatar Kyai.

Bapak tak mau lagi mengakuiku sebagai anak satu-satunya. Meski secara biologis ia memang bukan bapak kandungku. Sebelum ia pergi sebuah tendangan mendarat di pahaku. Aku menangis meraung-raung seperti sirine polisi. Penonton lalu kembali ke tempatnya semula. Bapak meninggalkanku. Begitu pula para tetangga. Ditinggalkannya aku sendiri dengan warna kebiruan yang terpoles di pipi serta paha. Usut punya usut, ternyata Jamin mengadukanku kepada bapak. Aku muak dengan lelaki bajingan itu! Aku pun segera meninggalkan kota, menuju salah satu kampung di Kabupaten Bogor. Beruntung, aku menemukan sekelompok orkes dangdut yang terbuka dengan kehadiranku.

Seperti gula pasir keruh berharga murah yang dicampur polesan pewarna lalu diaduk dalam kuali panas, aku berubah menjadi Sang Gulali Panggung, yang sangat manis dan membuat candu. Di penghujung lagu Terajana aku meliuk-liukan tubuhku seperti ular sawah. Penonton kembali menjerit-jerit histeris. Riuh sekali. Tepukan tangan bergema di udara. Recehan, bungkusan kecil, atau kembang taman hasil curian mendarat di atas panggung tiada henti. Aku seperti Iis. Martini Sang Gulali, yang terlahir sebagai Martono.

-Bogor, di penghujung Bulan Mei 2016-

A. Surya Dwipa Irsyam

 

3 thoughts on “GULALI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *