Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Gincu Ajaib

 

gincu1
sumber: semilirsunyi.wordpress.com

Aku Murti. Dulu seorang pengobat rindu para lelaki dari pinggiran kota yang kumuh. Aku perempuan murahan kata Pak RT. Penggoda pria beristri menurut Bu RW. Meskipun demikian, aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja di pagi hari. Suamiku bernama Jupri. Pernah bekerja sebagai pedagang gulali di halaman sebuah sekolah negeri. Sejak tiga tahun yang lalu, dagangannya tidak laku. Kasak kusuk berceracau di antara para ibu dan siswa-siswi. Badan Jupri yang kurus dikira telah digerogoti TBC. Dagangannya dianggap sebagai perantara bibit penyakit. Gulali manisnya yang semula primadona, kini menjadi madat yang terlarang. Sejak saat itu pula, aku bermetamorfosis menjadi seekor jalang nokturnal. Oh iya.. anakku ada dua, yang sulung baru mati setengah tahun yang lalu. Tawuran. Sebilah pisau berkarat tertancap kuat di perutnya. Sedangkan si bungsu, Nurisah, baru berusia tiga tahun. Entah dari lelaki yang mana ia tercipta.

Acap kali tubuh ini terasa sesak harus berbagi dengan dua jiwa, Murti saat petang dan Sarinah di kala Surya menguasai mega. Keduanya meraung dalam dada. Berkecamuk dahsyat. Tak ada pilihan lain, karena Jupri dan Nurisah bukanlah seekor ayam yang menyandarkan hidup dengan mengais sisa nasi di pembuangan akhir. Uang haram hasil pergulatanku pun terbilang pas-pasan, sehingga masih harus mencari pinjaman uang untuk menambal biaya hidup.

Aku tak punya banyak make up untuk berhias diri. Gincuku cuma satu, warnanya merah terang. Itu pun masih mencicil dari Mpok Minah, pemilik warung di depan rumah. Baru kubayar lima belas ribu. Menurut Mpok Minah, itu bukan sembarang gincu. Gincu itu ajaib.. Konon, ia mendapatkannya dari ujung barat Pulau Jawa. Selain si benda bertuah, sepotong kecil pinsil alis berwarna cokelat tua berujung tumpul dan bedak murah buatan negeri Cina juga selalu menemani kelanaku setiap malam.

Entah mengapa sore itu aku merasa berbeda, mungkin saja karena uang kontrakan yang belum dapat terpenuhi sehingga mengharuskanku untuk bekerja sebelum petang. Aku bergegas menyiapkan diri untuk bertarung di medan laga. Kutanggalkan daster batik tipis berwarna lembayung dan menggantinya dengan sepotong atasan tanpa lengan serta rok pendek berwana jingga. Sepasang bot dari kulit sintetik dari dalam rak sepatu berteriak kencang, menyegerakanku untuk mencomotnya. Khusus di hari itu aku menambahkan pulasan bedak untuk menyamarkan lebam di pipi. Ah.. percuma. Tak bisa! Nurisah menatapku dari atas kasur. Aku tersenyum membalasnya. “Emak.. gendong”, katanya. Aku tak menjawab. Hanya mendaratkan bibir bergincuku di keningnya.

Tuhan… berikan aku kekuatan malam ini.

Sore itu sangat basah. Rinai hujan mengguyur Ibu Kota seperti apa yang telah dilakukan oleh para pria kepadaku. Aku mengutuki diri karena hanya berbalut atasan tanpa lengan berwarna putih yang basah. Kutang hitamku tentu saja terlihat dengan jelas. Beberapa mata nakal menatapku nanar. Siulan-siulan binal memenuhi lubang telingaku.

Pukul lima sore kurang tiga belas menit, aku segera memasuki gerbong paling belakang dari sebuah kereta tujuan Bogor. Baru selesai menghela nafas di pojokan gerbong, tiba-tiba seorang pria menarik lenganku dengan kasar dari arah samping. Namanya Jaka, seorang lelaki yang tempo lalu memberikan bogem di pipi kiri. Ia preman bayaran yang ditugaskan oleh Koh Ling untuk menagih hutang-hutangku yang kian membunting.

Aku berteriak. Percuma saja penghuni gerbong hanya sanggup bergeming. Seolah aku tak berada di sana. Aku pasrahkan diriku saat itu. Aku dalam cengkraman Jaka. Tangan bertatonya semakin kuat mencengkramku. Tubuh ini tak berdaya untuk memberontak. Pasrah. Peluh mengaliri sekujur tubuh amat deras. Tuhan ijinkan aku mati saja, pekikku dalam hati. “Masa mu sudah habis!”, ujar Jaka dengan perlahan. Muka cemasku mengisyaratkan bahwa belum sepeser uang pun yang aku dapat kumpulkan hingga menjelang senja. Ia tak peduli. Mana peduli? Seorang pria berkemeja putih di depan berhasil membaca kecemasanku lewat tatapan tajam yang menelanjangiku.

Kereta berhenti di Stasiun Bojong Gede, Jaka memaksaku turun. Cengkramannya tak mau beranjak dari lenganku. Tak jauh dari stasiun, ia menarikku kasar. Merampas satu-satunya tas yang ku miliki dan mengoreknya. Segala isi tas segera berhamburan. Gincu ajaib, sepotong pensil alis, bedak murah yang mengandung merkuri, beberapa bungkus pengaman, dan foto Nurisah. Tak ada uang di sana. Wajahnya memerah dan semakin menjadi. Aku berusaha menjelaskan padanya. Menawarkan tubuhku sebagai keringanan malam itu. Ia berteriak. Makian kasar keluar dari wajah tampannya. Sudah puluhan kali ia tak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan Koh Ling. Jika malam ini gagal, mungkin nyawanya juga berada di ujung tanduk. Sebuah kereta lewat dengan suara yang memekakan telinga dan di saat yang bersamaan ia hempaskan tubuhku. Petang itu, tubuhku dipeluk kereta ekonomi. Gincuku tak benar-benar ajaib.

-Dramaga, 26 Mei 2016-

A. Surya Dwipa Irsayam

16 thoughts on “Gincu Ajaib

    1. terima kasih. Semoga saya dapat selalu menyuguhkan keajaiban di setiap cerita mendatang. Mohon dukungannya ya.

    1. terima kasih. Semoga saya dapat selalu menyuguhkan keajaiban di setiap cerita mendatang. Mohon dukungannya ya.

Leave a Reply to puji utari ardika (@utarizuta) Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *