Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Dilatasi Jiwa Mati

Bersimbah bara oleh WN
Bersimbah bara karya WN

Sakit sekali rasanya. Kepalaku perlahan-lahan membesar, menggembung seperti balon, dipenuhi segala caci maki untuk bodohnya orang-orang yang bersekolah. Layaknya gunung yang sudah siap memuntahkan lahar panasnya, membanjiri penduduk kota yang hidup dalam segala aturan yang tidak masuk akal sehat. Sedikit demi sedikit, retakan sudah muncul di kepala konyolku. Di dahi, di pipi, di ubun-ubun. Aku bagaikan patung yang sudah ikhlas jika terpecah belah. Kulit kepalaku hampir sobek. Namun, mulutku tetap disumpal paksa dengan seonggok uang hasil pemerasan. Terpaksa aku telan uang itu bulat-bulat! Setiap aku membuka mulutku untuk membocorkan caci maki, uang itu datang lagi. Tak diberinya diri ini kesempatan bicara. Aku telan. Uang sumpal. Aku kenyang sampai mual. Ingin muntah. Mulutku penuh uang haram. Bisa kah kepalaku lebih besar lagi dari ini? Ah! Kulit di hidungku mulai sobek!

Sekonyong-konyong hujan turun seperti sedang meledekku. Aku melihat tanah terbanjiri darah yang mulai menetes dari telingaku. Di sekitarku hanya ada hutan mati. Dahan-dahan durjana tanpa satu helai daun pun menemani. Aku berlari, mencari tempat berteduh. Aku baru tersadar bahwa aku tidak bisa berlari ke depan. Aku berlari mundur melawan waktu. Hujan, hujan, hujan apa ini? Sakit sekali rintikannya. Kepalaku yang mulai sobek terkena rintik-rintik hujan. Rasanya bagai luka yang terkena asam garam kehidupan. Perih, seperti disayat pisau belati. Aku menengadah perlahan, menatap langit. Disana lah sekumpulan gagak pemakan bangkai terbang mengitari. Sudah tercium rupanya bau busuk dari kepalaku. Aku siap mati. Bahkan aku menginginkan MATI lebih dari apapun! Ah! Kepalaku mulai bocor di bagian dahi! Aku jatuh tersungkur menahan kepalaku yang hampir copot. Aku dengar suara tawa dari dalam hutan mati dibalik hujan yang semakin deras.

Kedua tanganku menahan kepalaku yang mulai tidak berbentuk. Jika aku lepas, jatuh sudah kepala ini hancur berkeping-keping. Jangan dulu! Harus ada yang menjadi saksi bahwa uang menyumpalku! Siapapun, selain gagak-gagak bermata merah itu. Gagak tidak bisa berbicara di meja hijau. Siapa peduli suara gagak di tengah lautan manusia munafik? Tak pula dahan pohon-pohon renta ini bisa jadi saksi bisu. Masih bisa berdiri tanpa ditebang saja merupakan sebuah anugerah. Mau bicara apa mereka? Terus saja aku berlari mendekati suara tawa. Suara tawa bahagiaku ketika semuanya masih baik-baik saja.

Berlari mundur sembari memegang kepala yang beratnya beratus-ratus ton bukanlah perkara mudah. Mataku tetap berada di depan, walaupun yang sebelah kiri sudah menggelantung sampai ke pipi. Lubang tempat seharusnya mata kiriku bersemayam digenangi air hujan. Warnanya merah kecoklatan, dijadikan tempat nyamuk menebar jentik. Namun satu mataku masih mantap melihat masa depan. Bagaimana caranya berlari ke masa lalu jika mata ini egois? Aku jambak rambut panjangku dengan satu tangan (tentu agar kepalaku tidak jatuh terguling-guling), lalu dengan gesit, jari telunjuk dari tangan yang satunya menancap ke bola mata sialan ini. Rasanya seperti menusuk bakso panas. Oh itu dari sudut si telunjuk. Jangan tanya bagaimana rasanya dari sudut si bola mata. Dia sudah mati.

Suara tawa memanggil… hati ini rindu…

Sayup-sayup masih kudengar suara tawa, walaupun telinga ini sakit luar biasa. Rasanya seperti ada yang menusuk gendang telingaku dari dalam. Nyeri, setiap angin dingin menerpa tubuh kurusku. Siapa sangka tubuh kurus ini telah melahirkan gadis kecil yang kini berumur 1 tahun. Seharusnya berumur 1 tahun. Seharusnya aku sedang memeluknya. Mengajarinya bernyanyi lagu bintang kecil. Tertawa bersama sambil membuat istana pasir. Hebat sekali otak masih bisa berkhayal disaat genting seperti ini. Aku tegakkan daun telinga, siap berlari mundur mengejar suara tawa yang semakin mengangkasa. Tak peduli jika harus menukar tawa bahagiaku dengan kehidupanku yang penuh pengorbanan. Aku pun rela menukar topeng yang aku buat dari setiap jiwaku yang mati. Topeng yang selama ini menutupi mimik marah, kesal, benci, rindu, sedih, muram. Topeng dengan bibir tersenyum lebar, penuh keikhlasan semu. Kalian semua memang bodoh! Pintar berpura-pura bodoh!

Hujan berhenti. Suara tawa semakin menyelimuti benakku seakan-akan aku lah memang yang tertawa. Aku sudah siap. “Aku, mewakili jiwa pemuda pemudi pertiwi, bersaksi dengan kepalaku, bahwa kita, tanah dan air, belum benar-benar mengerti apa arti sebuah kemerdekaan.” Gagak mengetuk palu. Hutan mati menjadi saksi.

***

28 Oktober 2017

Selamat Hari Sumpah Pemuda

Karya: Winati Nurhayu

Ig: @ayuwinati

2 thoughts on “Dilatasi Jiwa Mati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *