Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Cinta dalam secangkir kopi

cup-of-coffee
(sumber: vendyxiao.com)

Malam tengah benderang di banjiri gemintang yang bertaburan, hangat suasana rumah ini masih teringat jelas dalam benakku. Kehangatan yang pertama sekaligus yang terakhir. Kupandangi celah jendela yang sedikit terbuka menghadap ke langit. Hangat tergenang dipipiku. Air mata itu ternyata belum kering setelah delapan tahun berlalu. Aku menangis, menangis sejadi-jadinya dalam kepiluan yang teramat sangat.

“Aku masih ingat ketika setiap pagi kau bangunkan aku dengan mata yang berbinar, dengan rambut yang kau gelung keatas dan baju tidur yang sudah berganti menjadi pakaian dinasmu.”

Saat itu aku belum merasa sebagai seorang laki-laki paling beruntung karena memiliki istri sepertimu. Dengan wajah malas dan memasang tampang sekeki-kekinya akupun bangun dengan tidak melirikkan mataku secuilpun padamu. Kurasakan kau menarik nafas dan berusaha tuk tegar menghadapi kelakuanku. Dan binar matamu tak pernah sedikitpun pudar.

Seperti biasa, setelah mandi aku melihat satu stel pakaian kerja yang telah kau siapkan di atas tempat tidur yang telah kau rapikan, dan di atas meja makan pasti ada satu cangkir kopi yang tak pernah lupa kau siapkan untukku. Satu cangkir kopi yang tak pernah berhenti menemaniku selama delapan tahun ini. Satu cangkir kopi yang telah menjadi ribuan cangkir kafein yang bersarang di tubuhku yang telah renta ini.

Mendadak batinku nyeri, aku teringat peristiwa yang paling memilukan. Waktu itu ulang tahun pernikahan kita yang pertama. Kau pulang membawa sebentuk kue tart yang begitu indah. Dengan nada ceria dan bahagia kau datang kehadapanku, “happy anniversary yah mas….” Tangan mungilmu mengusap pipiku lembut, tapi ku acuhkan, ku sibak tangan itu dengan kasar, ku palingkan kue tart yang indah itu ke lantai. Dan aku melihat wajahmu bergetar, nafasmu terlihat menyakitkan ketika ditarik, dan airmata mu terjun seketika membasahi rona merah dipipimu. Aku hanya terdiam, berusaha mengartikan hati yang tertanam di dalam tubuhku, kenapa aku melakukan hal seperti ini, kenapa aku sebegitu kejamnya pada istriku sendiri. Aku hanya bisa bungkam, pilu aku mendengar kau menangis diam diam di balik tirai kamar kita. Dan di malam yang pilu itu, aku terbangun dari tidurku. Tak ada sosokmu disampingku, aku bergegas, ternyata kau tengah terbaring di sofa. Aku memandang wajahmu, sedikit biru bekas tamparanku tempo hari. Aku ingin mengusapnya, aku ingin mengobatinya, aku ingin kau tahu yang sebenarnya. Tapi masih pengecut diriku tuk mengakui kebenaran yang menyakitkan ini.

Keesokkan paginya, aku terbangun, Kau sudah tak ada di sofa. Yang ada hanya secangkir kopi. Kuteguk perlahan. Kurasakan cinta di setiap tetes kopi ang kau buat. Hatiku berdecit pilu. Andai aku bisa menikmati kopi yang luar biasa ini sambil memelukmu, sambil mengatakan “kau istri yang paling hebat, kopi buatanmu tak ada tandingannya”. Tapi lagi-lagi kenyataan pahit itu menahanku dalam ketidakberdayaan, kuurungkan niatan indah itu lagi. Andai saja kau tahu, aku ingin menjadi seperti yang kau inginkan. Aku ingin kau nyaman disampingku, aku ingin kau merasakan cintaku yang sama besarnya seperti cintamu, aku ingin menyambutmu pulang dari pekerjaanmu dengan senyuman termanis agar hilang lelahmu seharian tadi, aku ingin mengucapkan selamat tidur dan mengecup keningmu saat kita akan tidur, tapi semuanya berat, semuanya teramat sulit.

“Maafkan aku menahamu dalam kesakitan ini.”

Hari ini, tak seperti biasanya, wajahmu yang merona tampak pucat pasi seperti rembulan kehilangan cahayanya. Ingin sekali aku bertanya kepadamu, apa yang terjadi. Tapi semburat wajahmu memancarkan ketakutan, hilang wajah yang penuh akan cinta yang suci itu. Pelan – pelan aku menyelidiki, kulihat jam menunjukkan pukul 8.30. kau tidak pergi ke kantor seperti biasanya. Kuperhatikan lagi wajahmu dengan seksama, ketika itu mata kita bertemu. Aku ingin bertanya tapi lidah ini kelu. Seraya wajahmu bergetar, aku mendekatimu yang sedang berbaring di sofa. Sedikit ragu ku gerakkan tanganku tuk menyentuh wajahmu yang basah air mata. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutmu. Sekuat tenaga ku kalahkan kelu lidahku, “kau sakit?” tanyaku sederhana. Matamu semakin bergetar, perlahan kedua tanganmu merengkuhku masuk kedalam pelukmu, jauh dalam isak tangis mu yang semakin memilukan. Aku bertanya lagi “ada apa?, bicaralah”. “aku menyerah, sampai sini saja……….” Begitu suara paraumu terdengar merasuk ke telingaku, menembus ke jantungku, dan berakhir di muara hatiku, menepi sudah kepiluan ini, terasa amat menggigit.

Kulepaskan seketika pelukkanmu yang semakin kuat itu, kulihat matamu yang sudah menutup, terpancar aura ketenangan, ketenangan yang menyakitkan jika mataku yag memandangnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Membalas dekapan eratmu yang baru saja kulepaskan. Kugenggam erat-erat tubuhmu yang selama ini hanya dekat, tapi aku tak bisa untuk menyentuhnya. Karena kutahu itu bukan hakku.

Kemudian aku berlari, membuka pintu rumah kita, meninggalkanmu sendirian yang terbaring tanpa nafas, aku berlari, menembus hujan di tengah panas yang terik. Melesat ke daerah pemakaman. Mencari-cari dimana gundukkan tanah yang ku maksud. Kudekap gundukkan tanah bertuliskan nisan “ Nurani Intan Cahyani”. Melepaskan rasa bersalahku yang semakin tak ada habisnya.

“maafkan aku tak bisa menjaga anak kita sayang, maafkan aku karena aku tak sempat memberi tahunya, kalau aku ini adalah ayahnya”

hujan semakin deras, kali ini terik matahari sirna. Mendung merajai.

Sekejap saja peristiwa itu hadir kembali, membuka kenangan kenangan yang paling kelam dalam hidupku. Istriku Nurani meninggal setelah melahirkan putri pertama kami, aku menitipkan putriku yang baru saja lahir di panti asuhan. 20 tahun kemudian aku menikah lagi dengan seorang gadis cantik yang bekerja di kantorku. Aku mengetahui dia adalah anakku sehari setelah pernikahan kami, ada foto Nurani di dalam lemarinya. Terlalu bodoh dan pengecutnya diriku. Bungkam, hanya itu yang ku bisa. Menyuguhkan penderitaan selama bertahun-tahun pada anakku yang kunikahi. Hinga akhirnya ia meninggal karena penyakit livernya.

Aku duduk, diam. Mereguk bercangkir-cangkir kopi setiap harinya. Mengenang Nurani, mengenang anakku, yang setiap hari menunjukkan cintanya dalam secangkir kopi. Dalam secangkir kopi itu, kureguk cinta sedalam-dalamnya, kureguk kenangan pahit itu sampai habis. Sampai kelak aku bertemu dengan mereka. Di alam yang sama.

(Oleh: Sayusti, Juli 2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *