Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Candra Naya

Lampion Merah Pembawa Asa- ©Ayuwinati

Jika reinkarnasi itu benar, aku ingin menjadi kucing betina liar untuk kehidupan selanjutnya. Aku bisa melahirkan beberapa ekor kucing, menyusuinya, mencarikannya beberapa potong ikan curian, sampai mereka bisa mencari makan sendiri. Aku tidak perlu repot-repot mendidiknya untuk menjadi individu bermartabat. Tetapi justru itu peran orang tua dari makhluk egois Homo sapiens. Peran ini kurang lebih membuat aku merasa dibesarkan dalam bui. Seperti dicekoki batu bata dan harus menelannya bulat-bulat. Orang tuaku sudah menyusul peran Tuhan sebagai penentu takdir. Mereka tidak percaya jika aku bisa sukses dengan menjadi penulis. Mereka tidak menghormati keputusanku untuk sekolah magister di Perancis. Mereka tidak membiarkanku memilih pasangan hidup yang aku cintai. Mereka tidak pernah melibatkan aku untuk membahas masa depanku sendiri. Mereka hanya bisa marah dan menghukumku ketika aku berbuat salah. Padahal, negasi dari semua yang mereka lakukan adalah cara terbaik untuk membesarkan seorang anak.

***

Semua kenangan buruk selama 26 tahun muncul kembali ketika pria ini memelukku. Dia memelukku hangat, walaupun aku membalasnya dengan segan. Badannya yang tinggi besar harus sedikit membungkuk agar bisa mendekap tubuhku lebih erat. Aroma kayu cendana tercium, membuatku tertegun beberapa saat. Aku lemparkan pandangan. Arah jam 10, ada dua pegawai hotel sedang sibuk menatap layar komputer di meja resepsionis. Oh, ada satpam berdiri di dekat pintu lobi tanpa memperdulikan kami. Detik demi detik, aku mendengar nafas pria ini mulai memburu. Dadanya naik turun, membuatku melepas paksa pelukannya. “Promise me you will contact me soon?” matanya lembut mengantarkan kepergianku. “See you later, Peter.” Pergi dari sana Riviera! Percepat langkah dan tidak usah menoleh lagi! Langsung menaiki jembatan penyeberangan dan segera memesan ojek online. Tujuan. Kemana aku akan pergi? Sejauh mungkin dari pekarangan Gedung Candra Naya.

***

Rumah merupakan tempat dimana hatimu berada. Aku setuju dengan pepatah ini, walaupun aku belum menemukan rumah yang tepat. Seperti orang yang ingin membeli barang, aku mencari referensi rumah dengan berbagai cara. Berkunjung ke Gedung Candra Naya salah satunya. Gedung ini pernah dijadikan rumah oleh tokoh Tionghoa pada abad ke-19. Sayang sekali aku belum pernah bertemu tokoh Tionghoa ini. Mustahil untuk memastikan apakah hatinya pernah bernaung di gedung ini. Namun, menyambut kelahiran anak dengan membangun Candra Naya cukup membentuk interpretasi “rumah” dalam benakku. Rumah sederhana dengan dua daun pintu menyambutku. Pintu merupakan saksi pertama bagi sebuah rumah. Anggaplah pintu mempunyai indera pengelihatan, maka dia bisa mengenali siapa saja yang masuk dan keluar melalui dirinya. Bahkan dia bisa menghitung berapa kali orang tersebut bolak balik dalam sehari! Jika pintu mempunyai indera pendengaran, setiap langkah-langkah pasti sanggup dia kenali. Oh, langkah kecil-kecil dan terburu-buru, pasti si anu! Bagaimana dengan indera perasa? Pintu Candra Naya menyambutku dengan dua Pa Kua besi berlapis emas. Ornamen yang berfungsi sebagai pengetuk pintu ini berbentuk segi delapan, melambangkan delapan penjuru mata angin. Pa Kua dipercaya dapat mengusir roh jahat dan pengaruh buruk bagi seisi rumah. Aku bersyukur Pintu memberiku jalan masuk. Indera perasanya masih berfungsi dengan sangat baik.

***

“I would like to give you, but it’s at my room. The hotel is just there. It won’t take long.” Peter menawariku minyak pijat dari Mesir. Apakah layak seorang perempuan masuk ke kamar hotel seorang laki-laki yang baru dikenalnya selama lima menit? Namun, hotel juga merupakan rumah singgah bukan? Bukankah aku sedang mencari referensi sebuah rumah? Aku mengiyakan tawarannya dan kami pergi bersama dari Gedung Candra Naya dan memasuki hotel bintang empat itu. Aku membiarkannya jalan di depanku seolah-olah dia menuntunku. Sebetulnya aku bukan perlu dituntun, namun aku ingin mengecek tas dan mencari pisau lipat. Ah untunglah aku membawanya dan langsung aku selipkan ke dalam saku parka. Pria ini mengaku seorang politisi Mesir yang sedang dinas sendirian di Jakarta. Seperti semua politisi, dia memang banyak bicara dan bisa mengkait-kaitkan satu hal ke hal lain sampai-sampai dia bisa menawarkan minyak pijat itu.

***

Kami sampai di depan pintu kamarnya. Aku melihat sebuah kardus, sepertinya bekas kiriman paket karena sudah terbuka paksa di salah satu sudutnya. Betul bahwa namanya Peter, seperti tertulis pada kardus itu. Sembari dia menempelkan kartu pada scanner pintu, aku membuka lebar-lebar telingaku. Tidak ada orang lain lagi di lantai 20 ini. Pintu terbuka, dia mempersilahkan aku untuk masuk. Mejanya sedikit berantakan dengan beberapa benda, termasuk sebuah kotak merah. Sebuah jas berwarna abu-abu tergantung pada kursi. Kopernya dalam keadaan tertutup rapih. “What a nice room, Peter.” Dia hanya tersenyum dan mulai memainkan sebuah lagu instrumental dengan volume cukup kencang dari gawainya. Diperhatikan dari nadanya, sepertinya ini lagu timur tengah. Aku tahu dia hendak membuat santai suasana. “You have to try this, this is very expensive.” sambil membuka kotak merah yang ternyata di dalamnya berisi empat botol minyak berukuran 200 ml. Segel minyak dengan label “Cleopatra” dibuka, lalu Peter menyodorkan pipetnya kepadaku. Aku berikan punggung tanganku dan dia meneteskan sedikit minyak itu sambil menyuruhku untuk mencium aromanya. Tidak wangi sesuatu apapun, tidak ada perasaan yang berubah. “You know that Egyptian King used a crown? This oil was used for the crown. And you can imagine, at that time, the King had so many wives? This oil was also applied for serving his wives. For an excellent performa” Jantungku mulai berdegup kencang seiring darah yang mengalir deras. Ada tekanan ganjil pada otakku, seperti yang dialami para astronot. Astronot mengalami perubahan fisiologis akibat tidak adanya gravitasi di angkasa luar. Aku bukan astronot dan sekarang aku sangat merasakan gaya gravitasi itu. Jiwaku serasa diikat pada sebuah jangkar dan dilempar bebas ke samudera.

***

Aku suka sekali menulis, menceritakan hal-hal yang aku ketahui, resahkan, dan kesalkan. Menulis adalah salah satu sarana untuk mengangkat fenomena yang perlu diketahui masyarakat luas. Aku tidak akan bisa menulis jika jarang membaca buku. Saat membaca buku, mustahil untuk menghafal mati semua isi buku tersebut. Aku hanya mengingat hal yang menurutku penting, walaupun aku selalu berkonsentrasi saat membaca setiap kalimatnya. Memang begitulah cara kerja otak kita. Otak akan menekan laju informasi tidak penting, sehingga informasi penting akan muncul ke permukaan sehingga akan lebih kita ingat seiring berjalannya waktu. Mekanisme ini terjadi tidak harus pada sebuah buku. Membaca sebuah iklan di dalam gerbong Commuter Line juga bisa. Lebih baik lagi jika membaca petunjuk yang ada di dalam gerbong. Petunjuk-petunjuk ini dicetak dalam beberapa warna, seperti kuning, biru, ada yang merah. Warna merah akan lebih diperhatikan dibanding warna kuning, apalagi biru. Warna merah terkesan kuat, sebuah larangan, sebuah bahaya. Sayangnya, tulisan “Tempat Duduk Prioritas” di cetak dengan warna biru. Pantas saja banyak penumpang tetap duduk di sana.

***

Aku tidak akan duduk di tempat prioritas, karena aku masih muda dan tidak hamil. Bahkan, umur biologisku jauh lebih muda dari umur asliku. Aku akan melakukan apa saja untuk menunda penuaan, termasuk olahraga aerobik. Aku selalu jogging setiap pagi dan harus mencapai target 10.000 langkah sehari. Setiap minggu aku berenang, walaupun akan dimarahi karena kulitku semakin menghitam. Tidak jarang aku mengecoh orang-orang yang tidak mengenalku. Seringkali dikira masih kuliah, bahkan pernah seorang tukang ojek mengira aku masih sekolah. Peter menebak umurku 23 tahun. “I thought Indonesian women are already married on your age.” Aku dapat melihat kilatan di matanya walaupun dalam keadaan minim cahaya pada sebuah elevator, menuju lantai 20. “Well, most of them, but not me. I wanna be focus on my career.” Aku bisa membaca pikirannya, bergema-gema di dalam kepalaku. Dia mengira aku masih perawan dan dia senang akan hal itu. Seharusnya aku melihat warna merah sejak dia mulai mengajakku bicara di Gedung Candra Naya.

***

“C’est le ticket. Merci. Bonne soiree!” Betapa rindu mendapatkan salam setiap selesai transaksi berbelanja. Rindu diprioritaskan sebagai pejalan kaki. Rindu dengan Camembert! Satu tahun membangun mimpi di Perancis, walaupun akhirnya aku jatuh di atas bintang-bintang. Pulang tanpa membawa gelar tidak mengapa. Mencapai mimpi memang perlu strategi karena mimpi bukanlah sebuah undian. Tidak mungkin dicapai dengan cuma-cuma. Aku perlu strategi yang lebih matang dan sebisa mungkin fokus. Fokus kepada mimpiku, bukan penghambatnya. Seandainya saja aku langsung mulai sekolah magister setelah aku lulus sarjana, pasti akan lebih mudah. Semakin bertambahnya umur, akan semakin sulit untuk belajar. Dibandingkan anak-anak, bagian otak orang dewasa tidak banyak yang aktif saat menerima pelajaran. Tak heran mengapa orang dewasa tidak bisa dinasihati, termasuk klien-klien orang tuaku.

***

Mungkin karena amat sangat rindu dengan Perancis, aku mau mengobrol dengan Peter. Dia seorang “bule” berumur kira-kira 45 tahun, berkacamata, mengenakan kemeja biru kotak-kotak, celana jeans, dan pantoefel hitam. Rambutnya cepak, kecoklatan, tidak beruban, dan klimis. Pada satu sisi, penampilan Peter mengingatkanku kepada Papa. Pada sisi lain, setelah kami berbicara 5 menit sepertinya dia tipikal seorang sugar daddy. Sugar daddy adalah seorang pria dengan kemampuan “mind-control” parasit. Begini teorinya, ada parasit yang dikenal dengan nama Toxoplasma. Tikus secara alami akan menghindari predatornya, yaitu kucing. Namun, tikus yang terinfeksi Toxoplasma malah mendekati kucing dan membiarkan dirinya dimakan. Mengapa? Inang Toxoplasma yang sebenarnya adalah kucing sehingga dia bisa memenuhi siklus hidupnya. Sugar daddy membuat perempuan peliharaannya merasa terangkat derajatnya karena dibelikan berbagai barang mewah. Merasa derajatnya terangkat, perempuan ini akan tenang-tenang saja berada di sekitar sugar daddy. Pada akhirnya, siklus hidup sugar daddy akan terpenuhi karena sperma dikeluarkan melalui aktivitas menyenangkan. Bukan saat terbangun di pagi hari setiap bulannya, bukan pada sebuah lubang yang tidak lagi rapat dan sudah kering. Sugar daddy tidak akan rugi dengan mengeluarkan “uang receh” selama perempuan muda masih bisa membuatnya senang. Perempuan muda itu justru sedang menginvestasi kerugiannya pada masa tua kelak.

***

Kami bicara macam-macam. Pada dasarnya, Peter orang yang menyenangkan dan pada saat bersamaan juga kesepian. Omong-omong aku juga kesepian, jadi memang nyaman saja berbincang dengannya walaupun latar belakangku bukan politik. Mengetahui aku belum bekerja tetap, dia membahas asuransi yang dimiliki negara untuk pekerja yang di PHK. Bedanya, negara maju mampu menyediakan asuransi untuk 6 dari 10 orang, sayangnya negara berkembang hanya mampu menyediakan untuk 1 orang. Setiap kalimatnya selalu diiringi kata-kata untuk menyemangatiku agar sekolah lagi di Perancis. Bagai kelelawar yang mampu meniru suara, aku serta merta memujinya sebagai politisi yang rendah hati. Sudah lama sekali aku tidak berdiskusi seperti ini. Dia memberikanku nomor teleponnya alih-alih memberikan email. Aku mencatatnya di gawaiku. Hanya sampai menyimpannya.

***

Kepalaku berdenyut-denyut, tetapi aku berusaha untuk mengontrol diri. “Peter, thank you so much. But I really need to leave now. It’s about to rain.” Aku melihat awan gelap mulai menguasai langit dari jendela besar di salah satu sisi kamarnya. Peter tampak terkejut dan terheran-heran karena aku masih bisa berdiri tegap dan melangkah ke arah pintu. “Ah yes, but don’t forget these oils. These are for you. I think I like you. You are, you, I think we have something in common.” Aku tersenyum simpul sambil menoleh ke arahnya, “But I don’t have something in return, Peter. I don’t deserve these expensive oils.” Dia menyusulku dan menyodorkan kotak merah itu kepadaku. “Please? I will walk you to the lobby”. Dasar politisi bodoh, Riviera Wijaya tidak pernah tertarik pada pria!

19 April 2020

Stop menjadikan wanita sebagai objek!

Selamat Hari Kartini! di masa pandemic covid-19

(Karya: Ayuwinati)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *