Hello Makna Kata

Menelisik Makna dalam Untaian Kata

Bukan manusia

girl-clutching-shoulders
Girl Clutching Shoulders (rememberingthedesireisprivate.blogspot.co.id)

(Catatan MaknaKata: Cerpen ini telah dinobatkan sebagai pemenang Kedua dalam Lomba Cerpen 2016-Departemen Biologi IPB)

Menari. Cantik. Suka. Jatuh cinta. Perhatian. Cinta. Bercinta. Bercita-cita. Janji. Berkhianat. Kecewa. Pergi. Atau bertahan? Bertahan. Cinta lagi? Tidak. Komitmen? Iya. Pacaran? Tidak. Status? Tidak perlu! Semua status seperti pacaran atau menikah masih punya kesempatan selingkuh. Tidak ada status. Bercinta dengan yang lain? Bukan selingkuh namanya. Sakit hati? Tidak. Mengapa?

Karena aku bukan manusia! Titik!

***

“Ra, pulang naik apa?”

“Ah. Apa ya. Kamu naik apa?”

“Aku bawa mobil. Kamu masih tinggal di Jalan Mawar kan? Aku anterin aja ya? Nggak ada kendaraan umum loh jam segini.”

“Gitu ya? Boleh aja, Van.”

Jalanan memang sudah sepi. Tidak ada angkutan umum yang lewat. Selalu saja begini tiap Sabtu malam. Mentang-mentang parasku cantik, aku selalu kebagian tampil malam. “Lebih ramai” kata bos. Selama perjalanan, aku melihat beberapa gelandangan tidur di depan pertokoan. Beberapa laki-laki masih nongkrong di sudut jalan. Aku selalu takut dengan laki-laki yang berkumpul dan nongkrong. Entah mengapa, aku selalu membayangkan mereka sedang membicarakan aku dan memelototi badanku dari atas sampai bawah. Untunglah partnerku, Novan, menawarkan untuk mengantar aku pulang. Aku sudah sangat lelah. Sepanjang perjalanan, Novan berusaha mengajakku mengobrol. Aku sudah menjawab asal-asalan. Lagi pula aku sedikit mabuk. Aku hanya ingin sampai kamar dan langsung tidur.

“Kamu tadi hebat banget Ra. Penonton pada tepuk tangan pas kamu performance sendirian.”

“Iya lah Van. Kalau nggak hebat bukan Rara namanya. Hahaha. Bukan Rara kalau nggak bikin cowo-cowo tergila-gila. Bikin cowo-cowo pada berfantasi”

“Ra, bukan itu maksud aku. Kamu emang bener-bener dancer berbakat. Kamu lagi kebanyakan minum ya?”

“Kamu tuh yang kurang minum! Makanya nggak mabok!”

Novan terdiam. Untunglah mobil sudah berhenti tepat di depan Jalan Mawar. Aku langsung turun dan langsung masuk kamar. Maaf ya Novan. Aku lelah. Semoga dia juga selamat sampai di rumahnya. Aku mulai mendengar rintik hujan menyentuh atap kamarku.

Aku hempaskan tubuhku di atas ranjang. Aku pandangi jam dinding yang tergantung tepat di seberang tempat tidurku. Jam dinding itu pemberian mantan kekasihku, Jaka. Tidak ada yang spesial dari jam dinding itu. Memang jam dinding itu dua kali ukuran jam dinding pada umumnya. Namun jam dinding itu membuat kamar kecil ini penuh sesak. Menurut dia, aku tidak kenal waktu. Selalu saja bekerja sampai malam. Hah! Kamu kira dengan memberikan jam dinding sebesar itu akan membuatku sadar akan waktu? Dasar Jaka bodoh. Jam dinding itu terus berdetik. Di luar mulai hujan deras. Kutarik selimut sampai ke dagu. Orang bilang hujan membuat galau. Aku tidak galau. Aku hanya kedinginan. Petir menyambar-nyambar mengiringi kutukan seseorang. Apakah aku yang terkena kutukan itu? Rasanya aku ingin sekali memutar detik pada jam sialan itu. Kembali pada masa dimana aku masih menjadi manusia.

***

Setelah semua selesai, aku berbaring di kasur. Kasur yang hanya cukup untuk satu orang. Kali ini, kasurku dipaksa agar cukup untuk berbaring berdua dengan Jaka. Aku suka sekali menjadikan tangan Jaka sebagai bantal. Dengan berada di dekat Jaka, aku merasa semua akan baik-baik saja. Jaka mengelus-ngelus rambutku dengan tangannya yang lain. Kami diam sejenak menatap langit-langit kamar.

Pikiranku melayang jauh. Aku selalu senang saat membayangkan diriku berada di atas awan. Semuanya putih dan lembut. Hening dan tidak ada siapa-siapa. Aku bebas berlarian sepuasnya. Aku bebas berteriak sampai suaraku serak. Tidak ada orang-orang yang mengaturku. Aku bebas! Aku bisa melakukan hal sesukaku. Bisa menari bebas tanpa rasa khawatir. Bahkan aku mungkin bisa membuat rumah besar di atas awan? Mungkin aku orang pertama yang tahu bahwa pelangi akan muncul. Aku juga orang pertama yang akan merasakan hangatnya matahari pagi. Bahkan, mungkin aku bisa menyentuh bintang, bahkan bulan?

“Aku sayang kamu, Ra.”

Sontak lamunanku buyar. “Aku juga sayang kamu”, balasku sembari tersenyum. Jaka tampak cemas. Matanya sedikit berkaca-kaca. Aku tahu dia khawatir akan keadaanku. Tubuhnya berkeringat. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku rasa detak jantungnya cukup cepat. Bahkan sangat cepat. Kain dan baskom berisi air hangat sudah ada di dekat kasur. Semua sudah disiapkan oleh Jaka. Mungkin ini bentuk tangung jawabnya?

Aku tidak tahu apakah aku akan sakit setelah ini. Aku tidak tahu apakah aku masih menjadi manusia setelah ini. Aku harap aku masih bisa menjadi seorang ibu suatu saat nanti. Lalu rasa sakit tiba-tiba menghujam dan darah sudah menodai kasur sempitku.

Setelah ini aku yakin, aku bukan manusia lagi.

***

Hari itu panas sekali. Sepertinya aku salah kostum. Aku mengenakan kemeja longgar dan rok span selutut. Biar begini, aku masih ingin terlihat seksi. Yang salah adalah kemeja longgar itu. Harganya murah dibawah seratus ribu rupiah. Bahannya entah apa yang memang memerangkap panas sehingga membuat keringat membasahi tubuhku. Untuk melupakan panas, aku memasang headset di telinga kiriku dan memutar musik klasik. Jaka duduk di sebelahku setelah memesan gado-gado.

“Ka, tadi udah lihat kan? Lucu banget. Dia pasti bakal jago nari kaya aku.”

“Hehe iya, Ra. Pasti cantik juga kaya kamu.” balas Jaka seraya mencium keningku.”

“Jadi mau kapan?”

“Aku terserah kamu”

“Besok malam ya. Aku minta libur sama bos sehari deh. Temenin aku ya, Ka? Aku takut kenapa-napa.”

“Aku pasti temenin Ra.”

Jaka menggenggam tanganku erat. Dia juga berkeringat. Mungkin kemejaku nggak salah-salah amat! Hari ini memang panas. Jaka Tirta, satu-satunya kekasih yang aku miliki. Satu-satunya lelaki yang dekat denganku. Aku tatap matanya dan aku sebut namaku, “Rara Kasih Wulandari”. Pupil matanya membesar. Aku tak tahu pasti apa artinya. Sepertinya dia masih sayang kepadaku. Perlahan, Jaka melepaskan tanganku. Menyuapiku gado-gado yang baru saja datang sambil mengelus perutku yang mulai membuncit.

(Oleh: Winati Nurhayu, Oct 2016)

Ig: @ayuwinati

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *