
Aku langkahkan kaki keluar
dari pintu gerbong kereta terakhir
mengikuti arus sungai kerumunan
Aku berjalan tegap
Berpura-pura tegar
Daun musim semi telah gugur, kalah berperang dengan hembusan angin rindu
Mataku menatap lurus ke depan
Kulihat papan bertuliskan “Keluar”
Seperti mengusir budak-budak kantor yang tak lagi menikmati hayat
Menuju pelukan hangat di rumah
Atau di sambut cacian istri berdaster
Ingatan lama masih menghantui
Membanjiri otakku dengan senyummu
Membuat hati menjadi anak kecil periang
Karena lelucon konyolmu
Sanggupkah ku perpanjang jarak pintu keluar itu?
Gendang telinga ini masih menanti
Getaran suaramu memanggil nama kecilku
Namun sayang, detik diantara kita berdetak menjauh
Membuat tangis pilu dan sayatan baru
Bolehkah ku naiki kereta ini sekali lagi?
Tak peduli jika aku harus terjebak dalam pusaran waktu
Sampai kutemukan dirimu
Biarkan suara yang tak lagi kamu kenal ini memanggil
Di dalam senja, mata kita bertemu
Jika kamu melihatku
Dibalut rasa kecewa, dilapisi rasa pasrah
Ku harap kamu mengejarku
Memelukku dari belakang
Walaupun di sini bukan stasiun tujuanmu
Mengapa laju kereta hanya punya dua arah?
Berangkat dan pulang
Namun kamu berangkat tidak pernah pulang
Atau pulang tapi tidak berangkat lagi
Aku dengar kabar burung
Kamu berhenti di suatu stasiun
Dan merubah laju detik-detik baru
Bersama kekasih barumu
Aku bisa apa?
WN
9 Maret 2017
Terkadang, sendiri di tengah kerumunan membuat semua kenangan hadir menemani pikiran kita. Bagiku selalu.